100 Hari Pemerintahan Jokowi: KPK Semakin Sulit Mengusut Korupsi
https://www.naviri.org/2020/02/100-hari-pemerintahan-jokowi-kpk.html
Naviri Magazine - Periode II pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menginjak usia 100 hari sejak keduanya dilantik. Apa saja yang sudah dikerjakan dan yang perlu dievaluasi?
Draf perpres yang bikin bingung
Draf Perpres yang dimaksud adalah tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan (OTK). Draf ini tiba-tiba muncul di tengah publik di akhir tahun 2019 dan membuat kontroversi. Sebab, di dalam draf tersebut disebutkan, pimpinan KPK berada di bawah Presiden.
Direktur eksekutif Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar, sempat mempertanyakan pasal pokok dalam draf tersebut. Menurutnya, aneh apabila KPK harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku kepala negara. Kepala negara dalam teori politik, diposisikan sebagai simbol. Berbeda dengan kepala pemerintahan.
Berikut bunyi pasal 1 dalam draf tersebut:
Pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara.
"Lembaga negara independen sebenarnya harusnya independen. Termasuk dari Presiden. Tapi kok sekarang di bawah Presiden walaupun kemudian dikunci di bahwa Presiden sebagai kepala negara. Ini menurut saya agak membingungkan gitu, maksudnya apa di bawah Presiden sebagai kepala negara itu apa," kata Zainal saat.
Selain itu, kritik terhadap draf ini datang dari banyak kalangan. Seperti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), yang mengeluarkan data bahwa aturan mengenai KPK masuk rumpun eksekutif bertabrakan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
Setidaknya ada empat putusan, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Putusan itu menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 UU KPK lama.
Anehnya, putusan itu ditabrak oleh MK dengan putusan teranyar, yakni PMK Nomor 36/PUU-XV/2017 yang menyebut KPK masuk rumpun eksekutif. Sontak, dasar ini yang dijadikan acuan dalam sejumlah kebijakan. Mulai dari UU KPK baru, hingga turunannya.
Meski begitu, pimpinan KPK saat ini sempat membantah apabila nantinya KPK akan hanya jadi alat kekuasaan Pemerintah, dalam hal ini presiden.
"Enggak ada, enggak ada. Saya katakan bahwa presiden tidak pernah intervensi kerja KPK, termasuk dengan kami, termasuk dengan Dewan Pengawas," kata ketua KPK Jenderal Bintang Tiga, Firli Bahuri, di gedung KPK.
Harapan palsu Perppu KPK
Sengkarut segala aturan yang membuat KPK menjadi 'macan ompong' berpangkal pada 'keberhasilan' Jokowi merevisi UU KPK. Namun desakan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) masih bergulir.
Presiden Jokowi sempat memberikan sinyal akan mengeluarkan Perppu usai menerima sejumlah tokoh yang dipimpin oleh Mahfud MD, yang saat itu belum ditunjuk jadi menteri koordinator polhukam.
"Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada kita, utamanya masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan," kata Jokowi waktu itu.
Itu pernyataan Jokowi usai dikunjungi oleh sejumlah tokoh, mulai dari Romo Magnis Suseno, Mahfud MD, Alissa Wahid, Qurais Shihab, Butet Kartaredjasa, Goenawan Mohamad, Anita Wahid, hingga Christine Hakim.
Sambil menunggu Perppu, sejumlah kalangan kemudian mencoba mengajukan judicial review ke MK atas UU KPK. Bahkan termasuk diajukan 3 mantan pimpinan KPK: Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang.
Salah satu yang pertama mengajukan gugatan ialah dari kalangan mahasiswa yang mempermasalahkan cacatnya unsur formil dalam pembuatan UU. Namun, gugatan itu ditolak karena salah nomor.
Setelah gugatan mahasiswa itu ditolak, jubir presiden, Fadjroel Rahman, tiba-tiba menyatakan perppu sudah tak diperlukan lagi.
"Tidak ada dong, kan Perppu tidak diperlukan lagi. Sudah ada undang-undang, yaitu UU nomor 19 Tahun 2019 (tentang KPK). Tidak diperlukan lagi Perppu," kata Fadjroel, Jumat (29/11/19).
Direktur Pukat UGM, Oce Madril, lalu menilai, Perppu hanyalah angin lalu alias harapan palsu yang dikeluarkan Jokowi.
"Alih alih keluarkan Perppu, istana justru rencanakan draf aturan Presiden yang isinya juga salah kan, menempatkan pimpinan KPK sebagai pejabat setingkat menteri misalnya. Itu kan kita lihat sangat bernafsu betul untuk atur KPK. Segala hal terkait KPK, dan terlihat betul ingin kendalikan KPK. Ini bertentangan dengan prospek independensi KPK," kata dia.
Sementara gugatan UU KPK di MK masih bergulir.
Mengubur KPK
Jokowi pidato berapi-api soal KPK dan pemberantasan korupsi, saat pertama kali dilantik menjadi Presiden pada 2015. Namun, pada pidato kenegaraan ketika ia dilantik untuk kedua kalinya, Jokowi sama sekali tidak menyinggung soal pemberantasan korupsi.
Tampaknya Jokowi tak punya komitmen pada pemberantasan korupsi. Fakta paling anyar dan menohok adalah kasus tersangka caleg PDIP, Harun Masiku.
Kasus itu melibatkan partai asal Jokowi, PDIP, lantaran 3 kadernya ditetapkan tersangka, dan satu berstatus buron. Tapi alih-alih kasus dibongkar, bawahan Jokowi, Menkumham Yasonna Laoly, malah cawe-cawe karena dianggap menghalangi penyidikan KPK dengan menutup informasi soal keberadaan buronan KPK, Harun Masiku.
Tak sampai situ, penyidik yang menangani kasus Harun Masiku juga diduga ditarik dan membuat kasus ini terlalu terang mempertontonkan KPK dan negara lemah menghadapi seorang caleg bernama Harun Masiku yang tak tahu rimbanya.
Presiden Jokowi menolak anggap KPK diperlemah. Masih adanya OTT yang dilakukan KPK menjadi dalih Jokowi.
"Buktinya, saya sudah sampaikan, KPK melakukan OTT ke Bupati dan KPU. Meskipun komisionernya masih baru, dewasnya masih baru," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (17/1).
Namun, 100 hari Jokowi akhirnya dinilai tak menunjukkan tanda-tanda komitmen pada pemberantasan korupsi itu.
"Tidak tampak ada tanda-tanda presiden akan memimpin langsung pemberantasan korupsi, memastikan penegakan hukum berjalan. Ini tidak tampak demikian. Dan ini juga tidak tampak dari jajaran kabinetnya. Tidak ada narasi yang kuat mengenai komitmen itu," ucap Oce Madril.
"Jadi 100 hari, ya 100 hari yang kosong. Cek kosong penegakan hukum, cek kosong pemberantasan korupsi, sampai juga bisa kita katakan 100 hari tanpa penegakan hukum pemberantasan korupsi yang serius," tutupnya.