Persoalan Jilbab dan Diskriminasi Wanita di Iran

Persoalan Jilbab dan Diskriminasi Wanita di Iran, naviri.org Naviri Magazine

Naviri.Org - Iran pernah mengalami pergolakan sejarah yang sempat mengubah warna negara itu. Jika sekarang Iran dikenal sebagai negara Islam yang memberlakukan aturan dan kewajiban Islam, di masa lalu Iran pernah menjalankan pemerintahan yang sekuler. Ketika Iran dipimpin oleh Shah Pahlavi, pemerintah Iran bahkan sempat melarang pemakaian jilbab bagi wanita.

Sampai kemudian terjadi revolusi di Iran pada 1979, yang menggulingkan rezim monarki Pahlavi. Revolusi itu juga memunculkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin Iran selanjutnya, dan turut mengubah kebijakan jilbab.

Dalam “The Personal, the Political, and the Public: Performing Hijab in Iran,” pemerintahan teokratis Khomeini membuat aturan jilbab wajib ditaati. Artinya, setiap perempuan Iran harus “menutupi sebagian besar tubuh mereka.” Satu-satunya pengecualian adalah “wajah dan tangan.”

Sementara itu, organisasi HAM lokal, Justice for Iran, dalam Thirty-Five Years of Forced Hijab: The Widespread and Systematic Violation of Women’s Rights in Iran (2014), menjelaskan satu bulan pasca revolusi, pelecehan terhadap perempuan yang tidak memakai jilbab oleh kelompok-kelompok Islamis marak terjadi. Khomeini menggambarkan perempuan yang tidak berjilbab sama seperti “telanjang”.

Sikap Khomeini memancing protes dari perempuan di Iran. Pada 8 Maret 1979, sehari setelah resminya peraturan berjilbab, dan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, ribuan perempuan turun ke jalanan Teheran menuntut Khomeini menghentikan persekusi kepada mereka yang menolak berjilbab.

Para demonstran beranggapan, serangan terhadap perempuan yang menolak berjilbab tak ada bedanya dengan memaksa perempuan menanggalkan jilbabnya, seperti yang dilakukan rezim Pahlavi.

Pada 1983, parlemen mengesahkan Pasal 102 KUHP yang menegaskan perempuan tampil tanpa jilbab di muka umum bakal dihukum dengan 74 cambukan. Pasal tersebut turut mewajibkan aparat menangkap perempuan yang tak mengenakan jilbab di luar rumah.

Mengutip Thirty-Five Years of Forced Hijab: The Widespread and Systematic Violation of Women’s Rights in Iran, selama enam tahun pertama berdirinya Republik Islam (1979-1985), persekusi kepada perempuan tak berjilbab begitu masif dilakukan. Persekusi tersebut dipandang mewakili sikap pemerintah baru terhadap segala hal yang dianggap “tidak Islami.”

Lebih dari satu dekade kemudian, Pasal 102 dihapus. Aturan mengenai jilbab lalu dipindah ke Pasal 638 KUHP Islam, yang mengganti cambuk dengan hukuman kurungan 10 hari sampai 2 bulan, atau denda 50.000-500.000 rial Iran.

Hammid Shahidian, dalam Women in Iran: Gender Politics in Islam Republic (2002), menjelaskan kebijakan Shah yang melarang penggunaan jilbab sama seperti pemaksaan jilbab di era Khomeini. Keduanya mempolitisir dalih kebijakan jilbab untuk kepentingan politik masing-masing. Shah melarang jilbab agar Iran nampak lebih “moderat.” Sedangkan Khomeini mewajibkan jilbab dengan dalih mengamalkan kitab suci, dan memastikan syariat Islam dipatuhi masyarakat Iran.

Namun yang lebih penting dari itu, baik Shah maupun Khomeini sama-sama menerapkan paksaan—dan bahkan persekusi—untuk mewujudkan kebijakan jilbab atau anti-jilbab bagi perempuan.

Laporan CNN menerangkan, di era kepemimpinan Rouhani, aturan jilbab sebetulnya sedikit dilonggarkan. Indikatornya adalah kurangnya keberadaan aparat dalam mengawasi perempuan di muka umum, tidak menangkap perempuan yang menyetir mobil dengan kondisi jilbab tidak rapi (terlihat bagian rambut), sampai menjatuhkan denda relatif kecil pada mereka yang melanggar. Tapi, hal tersebut belum mengubah gambaran secara umum bagaimana hak-hak perempuan di Iran masih dipinggirkan.

Human Rights Watch menyebutkan pemenuhan hak-hak perempuan di Iran masih jauh dari kata maksimal. Beberapa contohnya seperti larangan masuk ke stadion ataupun diskriminasi mengenai perkawinan, perceraian, hingga hak asuh anak. Frasa diskriminasi tersebut merujuk pada izin yang harus diperoleh dari laki-laki (ayah, kakek, atau suami) jika seorang perempuan ingin mencari pekerjaan, menikah, mendapatkan hak asuh anak, bercerai, sampai berpergian ke luar negeri.

Belum lagi soal keterlibatan perempuan Iran di pemerintahan yang jumlahnya masih tidak proporsional dengan laki-laki. Padahal, 60% lulusan perguruan tinggi Iran merupakan perempuan. Ironisnya, dari angka tersebut hanya menghasilkan angkatan kerja sebesar 13%.

Pada 7 Februari 2017, Rouhani pernah menyatakan, “Kita harus percaya pada kehadiran dan kemampuan perempuan, bahwa mereka punya peran dalam sains, pengetahuan, ekonomi, politik, dan seni, seperti laki-laki.”

Tapi, ungkapan Rouhani masih belum terwujud. Diskriminasi dan kurangnya pemenuhan hak-hak perempuan di Iran masih jadi pemandangan sehari-hari.

Related

Moslem World 2774820235171375472

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item