Fenomena Panic Buying dan Kerugian Ekonomi yang Ditimbulkan

Fenomena Panic Buying dan Kerugian Ekonomi yang Ditimbulkan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Perilaku panic buying dapat menguntungkan para pemburu rente. Di sisi lain, mempersiapkan masa isolasi, menurut sejumlah akademisi, adalah ekspresi dari mekanisme bertahan hidup manusia.

Penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen atau masyarakat ketika ada situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat, kerap dikenal dengan istilah panic buying.

Perilaku panic buying, menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dipicu oleh faktor psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat, sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara masif sebagai upaya penyelamatan diri.

Terdapat dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama adalah khawatir kalau tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada.

"Seperti inilah kondisi panic buying yang sekarang ini terjadi, terutama untuk masker," jelas Enny.

Dalam ekonomi, maraknya orang yang memburu suatu barang, seperti masker, memengaruhi sisi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi, yaitu: jika terjadi permintaan tinggi karena jumlah barang yang sedikit, maka harga barang akan semakin mahal.

Faktor inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemburu rente atau pencari keuntungan. Sebab, di tengah kondisi panic buying, masyarakat cenderung membeli barang lebih dari yang dibutuhkan.

Jika hal ini dilakukan oleh banyak orang, akibatnya adalah terjadi kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara demand dan supply. Dus, kelangkaan akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran ini berujung pada kenaikan harga.

“Yang terjadi setelah kenaikan harga adalah penurunan daya beli masyarakat. Karena misal uang Rp10 ribu yang tadinya cukup untuk beli masker, sekarang tidak cukup lagi karena harganya dua kali lipat bahkan lebih. Artinya, masyarakat harus menyiapkan uang berkali-kali lipat untuk membeli barang yang jumlahnya sama. Ini tentu bisa mengurangi daya beli masyarakat,” jelas Enny.

Untuk mengantisipasi dan memitigasi terulangnya panic buying, diperlukan kejelasan informasi dari otoritas yang berwenang, sebut Enny. Selain itu, informasi yang disajikan pemerintah, idealnya tidak tumpang tindih. Jelasnya, informasi yang diterima oleh masyarakat dapat meredam tekanan psikologis masyarakat, termasuk dari berbagai macam berita hoaks.

Langkah konkret lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membagikan masker secara cuma-cuma atau gratis kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah pemerintah RI lakukan saat mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan. Distribusi pembagian masker pun bisa dilakukan secara fleksibel, seperti di pusat keramaian umum, perkantoran, sekolah-sekolah, dan sebagainya.

“Sehingga masyarakat tidak merasa khawatir untuk membeli masker di pasaran, dan tidak dimanfaatkan oleh para pemburu rente yang menjual dengan harga yang amat mahal,” imbuh Enny.

Memilih untuk panic buying atau berbelanja sesuai kebutuhan, sepenuhnya ada di tangan konsumen. Namun, ada baiknya untuk tetap menjaga tindakan, agar tidak merugikan orang lain. Sebab, dengan panic buying, boleh jadi yang diuntungkan adalah para pemburu rente dan, sebaliknya, orang-orang yang benar-benar membutuhkan yang dirugikan.

Baca laporan lengkap » Data, Fakta, dan Perkembangan Wabah Corona.

Related

Corona 7395607673386323591

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item