Kisah-kisah Bencana Mengerikan, dari Kabut Misterius di Inggris Sampai Virus Corona

Kisah-kisah Bencana Mengerikan, dari Kabut Misterius di Inggris Sampai Virus Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Pada 1952, misalnya, ketika Ratu Elizabeth II dan Winston Churchill berkuasa, London diselimuti “kabut pembunuh” berwarna kuning-cokelat yang muncul akibat ribuan ton asap batu bara belerang dan asap diesel. Kabut ini terperangkap di area seluas 30 mil oleh inversi suhu dingin dan lembap.

Atas kejadian tersebut, 4.000 hingga 8.000 warga London meregang nyawa akibat masalah pernapasan yang diderita karena menghirup asap, hingga kecelakaan lalu-lintas lantaran jarak pandang yang sangat minim.

Sebagaimana dilaporkan The New York Times, musibah yang menimpa London tersebut sesungguhnya dapat dihindari kalau saja empat tahun sebelumnya, ketika ilmuwan di Inggris memperingatkan masalah pencemaran udara, pemerintah mendengarkannya.

Di Australia, kasus yang sama juga terjadi. Sebagaimana diketahui, semenjak Juni tahun lalu hingga hari ini, terutama di wilayah tenggara, kebakaran hutan terus melanda Australia. Menurut laporan 9News, kebakaran hutan ini telah menghanguskan sekitar 17 juta hektar lahan dan menghancurkan lebih dari 6.500 bangunan: terbesar dalam sejarah negara tersebut.

Salah satu penyebab kebakaran hutan demikian ganas lantaran terjadinya perubahan iklim, dan hal tersebut telah diperingatkan Dr. Tom Beer, seorang peneliti lingkungan asal Australia.

Sebagaimana diwartakan The Guardian, Dr. Beer yang bekerja di sebuah badan bernama CSIRO, diminta atasannya, Dr. Graeme Pearman, untuk mengetahui efek rumah kaca pada kebakaran.

Pada 1988, melalui paper setebal 745 halaman, Dr. Beer menyimpulkan bahwa “Australia berada di bawah bayang-bayang kebakaran hutan yang hebat, seiring dengan adanya perubahan iklim.”

“Dalam paper itu, kami menemukan korelasinya bukan suhu dan kebakaran, tetapi kelembapan relatif dan kebakaran. Temperatur naik, semakin kering, dan kemudian api naik,” tutur Beer.

Ironisnya, Direktur Kehutanan Australia Barat justru menyebut temuan Beer hanyalah “sampah”. Dan karena sepuluh tahun selepas paper itu diterbitkan Australia baik-baik saja, maka temuan Dr. Beer dilupakan, sampai kemudian prediksinya benar-benar terbukti.

Sikap abai otoritas terhadap para ahli juga mengemuka di Indonesia pada 2019. Ketika itu, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) bernama David Gaveau menyebut bahwa 1,6 juta hektar hutan di Indonesia sirna akibat kebakaran yang terjadi antara Januari hingga Oktober 2019. Adapun pemerintah menyebut luas hutan yang terbakar “hanya” 1,2 juta hektar.

Akibat perbedaan data tersebut, Gaveau, yang telah bertugas selama 15 tahun di Indonesia, diusir dengan alasan klasik: visa.

Salah satu kisah ironis lain terkait abainya penguasa terhadap peringatan para ilmuwan, dilakukan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat. Sebagaimana dilansir BBC, Trump dengan menggelikan menyebut bahwa perubahan iklim “diciptakan oleh Cina untuk membuat manufaktur AS tidak kompetitif”.

Mengapa sikap abai otoritas tersebut kerap terjadi?

Sejatinya memang tidak ada jawaban tunggal mengapa hubungan antara ilmuwan dan penguasa seakan tak harmonis. Dalam kasus lambannya respons pemerintah Cina terkait peringatan virus Corona, misalnya, Julia Belluz dari Vox menulis bahwa hal itu disebabkan karena rumitnya sistem hierarkis di sana, terutama terkait informasi sensitif.

Itu pula yang menyebabkan 774 orang di Cina meninggal akibat wabah SARS pada 2003 silam.

Sangat mungkin Cina tidak menganggap serius omongan dokter Wenliang, sang penemu virus Corona, karena ia bukan seorang pejabat atau sosok yang otoritatif untuk memberikan informasi. Dalam kasus kebakaran hutan Australia, Dr. Pearman menyebut sikap abai negara terjadi lantaran kuatnya lobi perusahaan-perusahaan ke pemerintah demi mengamankan bisnis mereka.

“Saya akan menyalahkan sebagian besar pada lobi,” kata Pearman, dilansir The Guardian. “Lobi itu sangat kuat di negara yang digerakkan oleh sektor sumber daya yang mencakup uranium, batu bara, dan gas, seperti Australia.”

Sementara pada kasus Trump, perubahan iklim yang disebutnya sebagai hoaks atau propaganda buatan Cina, terjadi karena ia lebih melihat hal tersebut dari sisi politis, bukan moralitas. Josep Pinion, ahli strategi Partai Republik, menyebut bahwa Trump tidak berupaya menjadi presiden dari sisi (pecinta) lingkungan.

“Di Amerika, perubahan iklim bukanlah isu, jadi Trump tidak mengindahkannya karena ia hanya peduli soal kemenangan,” tegas Pinion.

Related

World's Fact 6235514075912133976

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item