Memahami Sikap Tawadhu atau Rendah Hati Dalam Ajaran Islam

Memahami Sikap Tawadhu atau Rendah Hati Dalam Ajaran Islam, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Unggah ungguh atau tata krama belaka bukanlah tawadhu, karena ini hanya dampak dari ketawadhuan. Tawadhu bermakna jauh lebih dulu dari sekadar sopan santun. Tawadhu adalah sikap batin yang menjelma dalam praktik lahiriyah secara proporsional dan wajar.

Karena merupakan sikap batin, ketawadhuan sulit diukur. Yang bisa dilihat hanya praktik lahiriah yang proporsional dan wajar. Bisa jadi dalam tata krama tertentu, seseorang dapat menyesuaikan diri, tetapi sesungguhnya ia belum terbilang orang tawadhu. Masalah ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah sebagai berikut:

“Orang yang tawadhu itu bukan yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukan. Tetapi, orang yang tawadhu itu yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.”

Ketawadhuan hanya bisa diukur oleh diri manusia itu sendiri, karena hanya mereka yang mengerti batin mereka. Penilaian atas sikap batin itu persis penilaian atas ibadah puasa. Hanya mereka sendiri yang dapat menyadari apakah mereka merasa lebih tinggi atau merasa istimewa dibanding orang lain atau bahkan makhluk lain.

Syekh Ibnul Hajib menyebutkan secara jelas bahwa ketawadhuan adalah sikap batin yang merendah. Sikap batin ini yang melahirkan tata krama dan sikap sosial yang wajar. Demikian disampaikan Syekh Ibnul Hajib sebagai berikut:

“Menurut saya, ketawadhuan hakiki adalah sikap yang muncul dari orang yang memandang segala sesuatu dari Allah. Ketika ia merendah, ia merasa bahwa segala sesuatu berhak lebih banyak lagi ketakziman, dan merasa dirinya dalam kerendahan dan kehinaan lebih rendah dari ketawadhuan yang telah dilakukannya.

“Orang yang merasa istimewa di tengah yang lain bukan orang yang tawadhu. Kalaupun ia merendah di tengah yang lain, tetapi memandang dirinya lebih tinggi dan lebih utama dari ketawadhuan yang dilakukannya, maka hakikatnya ia orang takabur karena menyematkan ketawadhuan bagi dirinya sendiri karena sesuatu yang menurutnya layak ia terima.” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 238).

Sebagaimana dikatakan di atas, ketawadhuan mengandung konsep yang lebih luas dari sekadar formalitas tata krama, unggah ungguh, adab, atau sopan santun. Ketawadhuan bisa dipahami dalam konteks hukum dan etika. Hal ini yang kiranya jarang disampaikan banyak orang.

Ketawadhuan adalah upaya dalam membela dan menjamin hak pribadi dan hak orang lain. Ketawadhuan juga berarti upaya mempertahankan harkat manusia, baik diri sendiri maupun orang lain. Jangan sampai diri sendiri terhina. Jangan sampai orang lain terhina dan dirugikan karena ulah kita.

Pengertian ketawadhuan ini justru jauh sekali berbeda dari sekadar tata karma atau sopan santun. Hal ini sebagaimana keterangan Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i berikut ini:

“Bagi saya, ketawadhuan bergerak antara kerendahan dan ketakaburan. Kerendahan adalah kau menjadi hina dan hakmu terlantar. Sementara takabur adalah kau menjadi sebab atas kehinaan orang lain dan haknya telantar karenamu.

“Sedangkan ketawadhuan adalah kau tidak menjadi hina, dan orang lain tidak menjadi hina karenamu; hakmu tidak telantar dan hak orang lain tidak telantar karenamu.” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008 M/1429 H, halaman 135).

Meskipun hanya sikap batin, tanda-tanda ketawadhuan dapat dilihat dengan jelas. Syekh Syarqawi menyebutkan sejumlah tanda konkret mutawadhi‘in yang memiliki kepribadian tangguh dalam menghadapi berbagai tekanan sosial, dan tabah dalam menjaga diri dari godaan kemunafikan hidup. Berikut ini kutipannya:

“Orang yang tawadhu bukan ia yang ketika merendah berlaku sebagai laku orang bermaqam mutawadhi‘in, antara lain duduk di belakang dalam sebuah forum (menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya), merasa dia berhak duduk di depan.

“(Tetapi, orang tawadhu itu) adalah (ia yang ketika merendah) berlaku sebagai laku orang bermaqam mutawadhi‘in, antara lain duduk tak jauh dari depan pada sebuah forum (menganggap dia lebih rendah dari yang dilakukannya), merasa dia justru lebih berhak duduk di belakang...

“Tanda riil perilaku mutawadhi‘in adalah ia tidak marah ketika dicela atau difitnah, tidak membenci ketika dicaci atau dituduh melakukan dosa besar; tidak ngotot mengejar pencitraan, mencari muka, atau mengambil hati orang lain; dan tidak merasa memiliki tempat di hati banyak orang.” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Thaha Putra, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 60-61).

Dari sejumlah keterangan ulama itu, kita dapat menyimpulkan bahwa ketawadhuan hanya dimiliki orang-orang besar. Tawadhu adalah mereka yang siap belajar (mondok, ngaji, sekolah, kuliah, pokoknya belajar) ketika bodoh, bertanya ketika tidak mengetahui, berterima kasih atas budi baik orang lain, memohon maaf atas kesalahan.

Tidak banyak orang yang bersikap tawadhu. Hanya mereka yang berjiwa besar dapat mencapai derajat mutawadhi‘in. Karena hanya mereka yang siap melawan arus demi hak dan harkat hidup manusia. Wallahu a’lam.

Related

Moslem World 5470937316717262758

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item