Pengakuan Terakhir Amanda Todd, Remaja Korban Bullying di Internet

Pengakuan Terakhir Amanda Todd, Remaja Korban Bullying di Internet,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Nama Amanda Todd dikenang sebagai remaja yang menjadi korban bullying atau perundungan di internet. Korban semacam Amanda Todd mungkin ada di mana-mana, hanya saja tak diketahui, karena mereka memilih diam. Sementara Amanda Todd belakangan dikabarkan tewas karena bunuh diri.

Amanda Todd adalah remaja putri berusia 15 tahun asal Kanada. Kematiannya yang tragis telah menyadarkan banyak orang bahwa dampak bullying tidak main-main. Kisahnya dimuat di berbagai surat kabar di seluruh dunia. Topiknya dipercakapkan di linimasa Twitter, hingga menjai topik tren dunia, dan halaman Facebook yang mengenangnya mendapat 800-an pendukung dalam dua hari.

Amanda telah menjadi korban bullying selama bertahun-tahun, hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Sayangnya, sulit mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas kematiannya.

Pada 7 September 2012, Amanda Todd mengirim sebuah video di Youtube, berisi pengakuan terkait yang dialaminya selama ini. Video yang hanya menunjukkan kartu-kartu berisi kisah hidupnya itu menjadi penampilan terakhirnya di dunia maya. Pada 10 Oktober 2012, ia ditemukan meninggal dunia.

Berikut adalah kisah yang diceritakannya melalui video tersebut:

Hello! Namaku Amanda Todd, aku memutuskan untuk menceritakan kisahku yang tak berujung pada kalian. Waktu kelas tujuh, aku bersama teman-teman main-main dengan melalui obrolan di video, bertemu dan berbincang-bincang dengan teman baru. Di sana, aku mendapat kata-kata sanjungan seperti “Cantik”, “Menarik”, “Sempurna”, dan sebagainya. Lalu aku patuh saja ketika ada yang meminta menunjukkan bagian dadaku tanpa busana.

Setahun kemudian, tiba-tiba seseorang tanpa nama mengirimiku pesan di halaman profil Facebook. Pesan itu berbunyi, “Kalau kamu tidak mau menunjukkan sesuatu yang lain lagi, aku akan sebarkan fotomu.” Pria itu mengaku memiliki alamat rumah, data tentang keluarga, teman-teman, dan semua yang kukenal.

Hingga suatu hari, saat libur Hari Natal, pada pukul empat pagi hari, polisi mengetuk pintu rumahku karena foto setengah telanjang itu tersebar luas di internet. Aku jatuh sakit, shock, dan depresi. Hidupku makin tak tenang, sering panik tak jelas. Sempat pindah rumah, dan terlibat dengan obat-obatan serta alkohol. Bukannya menyelesaikan masalah, justru semakin resah bahkan sampai tak bisa keluar rumah lagi.

Setahun kemudian, orang yang memerasku kembali muncul dan mengirim daftar teman-teman serta sekolahku, dan membuat Halaman Facebook (Facebook Page). Orang itu menggunakan fotoku sebagai avatar profil. 

Aku hanya bisa menangis semalaman, kehilangan semua teman-temanku, dan rasa hormat dari mereka… untuk kedua kalinya. Tak satu pun kini menyukaiku. Mereka mengata-ngataiku, menghakimiku. Foto itu tak pernah bisa kudapatkan kembali, selamanya akan ada di luar sana.

Aku semakin depresi, bahkan mulai menyakiti diriku sendiri. Aku berjanji takkan pernah lagi melakukan hal itu. Aku tak punya teman lagi, tiap kali makan siang di sekolah, aku makan sendirian. Aku pun pindah sekolah lagi, dan keadaan agak membaik meski pengucilan masih terjadi. Ketika makan siang, aku makan di perpustakaan setiap hari.

Sebulan setelah itu, aku bertemu seorang teman pria yang lebih tua. Kami saling bertukar pesan singkat di ponsel, hingga suatu ketika ia mengatakan menyukaiku, meski aku tahu ia sudah memiliki pacar. Suatu ketika, ia mengundangku untuk bertemu di rumahnya, ketika sang pacar sedang liburan. Aku memenuhi undangan itu. Sebuah kesalahan besar.

Kami pun terlibat hubungan intim. Aku pikir ia benar-benar menyukaiku. Seminggu kemudian, aku menerima pesan singkat di ponsel, “Keluar dari sekolahmu!” Rupanya pacar sang teman pria itu, beserta lima belasan orang lain mendatangiku ke sekolah, dia pun ada di antaranya. Sang pacar bersama dua orang lain meneriakiku di depan sekitar 50 orang anak lain di sekolah baruku, “Lihat, tak ada satu pun yang menyukaimu!”

Seorang anak memprovokasi si pacar untuk memukuliku, dan terjadilah kekerasan itu. Aku didorong hingga terjatuh, dan dipukuli beberapa kali, sementara ada anak-anak lain memvideokan peristiwa itu. 

Aku benar-benar sendirian saat itu. Aku merasa menjadi lelucon di dunia ini, tak seorang pun layak diperlakukan seperti ini. Aku sendirian, berbohong bahwa apa yang terjadi semua karena kesalahanku, aku yang memulainya. Aku tak mau pria yang kupikir menyukaiku itu disakiti. Tapi ternyata yang diinginkannya hanyalah seks.

Seseorang kembali memprovokasi untuk memukuliku. Seorang guru datang melerai, tetapi membiarkanku tersungkur di selokan. Hingga akhirnya Ayah datang menolongku. Rasanya aku ingin mati saja. Sesampai di rumah, aku meminum cairan pemutih. Rasanya aku sudah mati, benar-benar mati. Tetapi ambulans datang, dan mengirimku ke rumah sakit. Aku selamat.

Sekembali dari rumah sakit, yang aku lihat di Facebook adalah komentar-komentar pedas seperti, “Ia layak mendapatkannya”, atau “Sudah dibersihkan belum lumpur yang mengotori rambutmu?”, bahkan ada komentar, “Aku harap ia mati saja!” Tak ada satu pun yang peduli.

Pindahlah aku ke tempat lain, ke sekolah baru lagi, ke kota ibuku. Aku tak mau mempermasalahkan insiden itu, karena aku ingin move on. Sekitar enam bulan berlalu, ledekan dengan kiriman di Facebook tentang berbagai macam cairan pemutih, dan menandaiku pada foto tersebut terus berlangsung. 

Komentar-komentar kali ini pun tak kalah pedasnya, seperti “Ia harus mencoba pemutih yang lain”, atau “Aku harap ia mati kali ini, toh itu bukan hal bodoh untuk dilakukan”, bahkan ada pula yang menginginkanku untuk mencoba bunuh diri lagi.

Aku tak tahu kenapa ini harus terjadi. Aku berbuat salah, dan kenapa kalian terus memburuku? Aku bahkan sudah meninggalkan kota kalian. Aku hanya bisa menangis sekarang… 

Setiap hari aku selalu berpikir, mengapa aku masih ada di sini? Ketakutanku makin menjadi sekarang, aku tak berani keluar meski liburan musim panas. Semua masa laluku, kehidupanku tak pernah menjadi lebih baik. Tak bisa ke sekolah, bertemu dan bersama teman-teman… Aku sangat depresi…

Di tengah tekanan yang bertubi-tubi, akhirnya aku larut dalam depresi, dan kembali sempat menyakiti diri sendiri. Aku harus mengonsumsi obat anti depresi, bahkan sempat masuk ke rumah sakit lagi selama dua hari karena overdosis. Hidupku seolah terhenti. Tak ada yang tersisa dari hidupku sekarang. Aku tak punya siapa pun, aku butuh seseorang…

Related

World's Fact 1442545856669190088

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item