Mengapa Bunga Deposito di BPR Lebih Tinggi Dibanding Bank Lain? Ini Penjelasannya

Mengapa Bunga Deposito di BPR Lebih Tinggi Dibanding Bank Lain? Ini Penjelasannya, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Suku bunga penjaminan BPR lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum, agar bisa bersaing dengan bank besar dalam menghimpun dana masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bina Dian Citra pada awal April 2018, karena kondisi keuangan BPR yang semakin memburuk. Pencabutan izin BPR yang beralamat di pertokoan Pasar Pagi Bintara, Bekasi, Jawa Barat, ini merupakan kasus pertama di tahun itu.

Namun, secara keseluruhan, kasus semacam ini bukan yang pertama menimpa BPR. Sepanjang tahun lalu saja, OJK dan LPS telah mencabut izin dan melikuidasi sembilan BPR. BPR selama ini memang seringkali bermasalah soal para pengurusnya, bahkan tindak pidana perbankan mayoritas terjadi di BPR.

Namun, bagaimana pun BPR salah satu lembaga keuangan untuk mengakses pembiayaan dan tempat menyimpan dana masyarakat, yang tak bisa dipungkiri jumlahnya sangat banyak.

Berdasarkan data OJK, per Februari 2018 terdapat 1.615 BPR dengan kantor cabang mencapai 6.231 unit. Total sumber dana yang berhasil dihimpun oleh BPR mencapai Rp104,03 triliun per Februari 2018, dengan jumlah dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp85,63 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar 68,99 persen merupakan simpanan atau deposito berjangka yang setara dengan Rp59,07 triliun.

Besarnya porsi deposito pada DPK di BPR bukan tanpa sebab, karena suku bunga yang ditawarkan BPR cukup menggiurkan. Tingkat suku bunga penjaminan yang dipatok LPS untuk BPR berada di level 8,25 persen, lebih tinggi 250 basis poin (bps) atau 2,5 persen dari tingkat bunga penjaminan yang dipatok LPS untuk bank umum di posisi hanya 5,75 persen.

Tingkat bunga penjaminan ini menjadi acuan bagi perbankan dalam menetapkan besaran bunga simpanan deposito nasabah. Dengan tingginya tingkat suku bunga yang ditawarkan, tak heran nominal deposito berjangka di BPR mencatat tren kenaikan.

Data OJK mencatat, deposito berjangka di BPR naik 11,33 persen secara tahunan dari Rp53,06 triliun pada Februari 2017 menjadi Rp59,07 triliun per Februari 2018. Secara year to date (ytd), deposito berjangka di BPR naik 1,6 persen dari Rp58,14 triliun per Desember 2017. Kontribusi deposito berjangka terhadap raihan dana pihak ketiga (DPK) BPR memiliki porsi yang signifikan, hingga nyaris mencapai 70 persen.

Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Samsu Adi Nugroho, menjelaskan, LPS menetapkan tingkat suku bunga penjaminan BPR lebih besar dari bank umum agar terdapat ruang bagi BPR untuk bersaing dengan bank bermodal jumbo dalam menghimpun dana masyarakat.

Sebab, BPR yang hanya memiliki modal mini tentu akan sulit bersaing dengan bank yang masuk kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Adi menjamin, memiliki simpanan berupa tabungan maupun deposito di BPR dijamin keamanannya oleh LPS.

“Ini karena, kalaupun BPR yang bersangkutan mengalami kebangkrutan, maka simpanan masyarakat dijamin oleh LPS. Asal, memenuhi syarat layak bayar,” jelas Adi.

Dalam menetapkan suatu simpanan yang layak bayar atau tidak, LPS terlebih dahulu melakukan proses rekonsiliasi dan verifikasi. Pertama adalah tercatat dalam pembukuan bank. Kedua, tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Ketiga, tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, misalnya memiliki kredit macet.

Simpanan layak bayar yang berlaku terhadap seluruh bank tanpa terkecuali, adalah simpanan dengan nominal maksimal Rp2 miliar per nasabah per bank.

“Jadi, misalkan ada simpanan nasabah senilai Rp3 miliar di satu bank yang mengalami kebangkrutan, maka nominal Rp2 miliar akan langsung dibayarkan. Sedangkan sisa dana senilai Rp1 miliar lainnya, akan dikembalikan menunggu hasil likuidasi jika dilakukan,” jelas Adi.

Deputi Komisioner Pengawas Bank IV OJK, Teguh Supangat, menyatakan, dalam mengukur tingkat kesehatan BPR yaitu dengan menggunakan kriteria CAMEL.

Pertama adalah capital atau aspek permodalan. Kedua, asset quality atau aspek kualitas aset produktif. Ketiga, dengan mengukur aspek manajemen. Keempat, yaitu aspek rentabilitas atau earning. Kelima, yaitu aspek likuiditas atau liquidity.

“Dengan penilaian akhir terhadap keseluruhan lima faktor tersebut, terdiri atas sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat,” sebut Teguh.

Related

News 3445113005593446655

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item