Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 1)

Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Berikut ini adalah kisah seorang wanita bernama Nina Susilowati, yang dirawat di rumah sakit rujukan karena terpapar Covid-19. Kisah ini semula ada di Facebook, dan viral karena menarik.

Tulisan berikut ini telah mengalami editing di sana-sini, semoga menjadi pelajaran bagi kita untuk semakin mawas diri, dan membuka hati bagi orang lain, agar kita bisa melewati pandemi ini.

OJO NGEYEL - DI RUMAH SAJA

***

Episode 1
AKU PDP CORONA

Berbagi, ah. Setidaknya berbagi pengalaman. Saat ini aku sudah dirawat di RS Pasarminggu hari ke 14. Di ruang isolasi dengan pintu selalu terkunci dari luar.

Aku masuk ke RS Pasarminggu berdasarkan rujukan dari RSUD Kebayoran Lama. Hasil rontgen thorax buruk, batuk kecil, demam lebih dari 38, dan gejala pneumonia. Alhasil masuk ruang isolasi itu.

Di sini malah ketahuan kalau ternyata mengidap kardiomegali. Maklum selama ini mengendalikan tensi dan gula darah keteteran. Jadi ini yang digarap duluan sama pneumonianya. Klorokuin sempat minum 4 hari saja. Aku sudah swab lewat hidung 2 kali tapi sampai hari ini belum keluar hasilnya.

Sekamar aku bertiga, satunya sudah pulang karena hasil negatif. Njuk satunya divonis positif kemarin. Pagi ini yang positif baru dipindah ke lantai yang khusus positif COVID-19. Njuk aku sendirian di kamar. Tapi mikir keras, kan sudah dua minggu ini berbagi kamar mandi dengan yang positif.

Personal higienis diri tetap aku jaga selama ini. Hand sanitizer sering kupakai sebisaku. Tapi kok ya tetap deg-degan. Semoga hasil swabku nanti negatif. Doakan ya.

***

Episode 2
MAU MENGELUH SAAT ISOLASI? MALU LAH KE PARAMEDIK

Saat pertama masuk ruang isolasi merana banget. Langsung dari IGD, belum bawa persiapan apa-apa. Boro-boro baju ganti, yang ada tinggal air 1/2 botol sedang. Perut sudah keroncongan. Sejak pagi hanya kemasukan sarapan bubur. Di IGD sesiangan. Jam 17.00 WIB baru masuk kamar isolasi dan ditinggal.

Jam 19.00 nekan bell, mau bilang lapar dan tidak punya makanan. Tapi tidak ada yang datang. Jam 21.00 baru masuk paramedik memberikan konsumsi dan segelas air putih. Sambil bawa tata tertib yang masih ditulis dengan tangan, yang menyatakan kalau paramedik tidak bisa masuk sewaktu-waktu karena keterbatasan APD.

Tambah dirawat di ruang isolasi, setelah beberapa hari rasa bosan menggelegak. Belum lagi jarum tusuk sana tusuk sini untuk ambil darah, cek gula darah, suntikan insulin setiap mau makan. Sementara suntikan vitamin C dan anti mual dilakukan lewat infus.

Makanan juga njelehi, nasinya lembek banget. Serasa bubur tidak, tapi bentuk nasi sudah tidak kelihatan. Sementara sebelah ada yang dapat kentang dll. Pokoknya nggak enak, lah.

Sudah begitu, entah kenapa waktu itu aku tidak juga di-swab, padahal sebelah sudah dua kali. Sampai aku sempat mengancam ke suster, kalau sampai besok sore tidak juga di-swab aku akan mencari cara untuk kabur. Hari berikutnya akhirnya aku di-swab, batal kabur, deh.

Cuma, sejak ancaman itu, aku jadi mikir keras lagi. Mereka, para perawat, suster, paramedik lain seperti petugas lab, sudah memenuhi tugas dengan baik. Mereka merawat kami sambil waswas tertular. Beberapa pas awal diisolasi bahkan aku merasakan mereka gemetaran. Bisa jadi karena takut tertular, tapi bisa jadi mereka kedinginan juga karena setiap masuk dan keluar tiap kamar dirinya disemprot desinfektan. Melas.

Belum lagi, mereka tidak boleh pulang. Kalau pulang berpotensi menularkan Covid ke keluarganya. Yang ada, petugas medis ini juga tersandera di hotel yang disediakan khusus untuk mereka.

TIDAK BOLEH PULANG. Catat itu!

Sampai kapan? Sampai embuh. Bisa jadi sampai pandemi berlalu. Sedangkan aku, anggap aku positif tapi survive, paling lama aku hanya sebulan di ruang isolasi. Selanjutnya pasien yang sudah boleh pulang, diminta nambah isolasi mandiri 14 hari di rumah masing-masing.

Betapa paramedik ini telah mengorbankan waktunya tanpa batas. Bahkan menjudikan nyawanya demi merawat pasien suspect yang positif Covid.

Pas ngobrol sama mereka di tengah visit singkat saat mengukur tensi darah dan suhu badan, teridentifikasi: ada yang meninggalkan anaknya usia 6 bulan, padahal baru menyusui. Ada pengantin baru dan terpaksa ninggal pasangan. Ada yang meninggalkan anak-anaknya dengan orang tua.

Sekali lagi, mereka tidak bisa pulang sampai entah kapan.

Jadi, aku menyesal banget saat itu mengancam dengan suara agak keras hanya soal swab yang tidak dilakukan. Mengeluh kebanyakan obat. Mengeluh banyaknya jarum yang nyubles-nyubles awak. Mengeluh sekadar nasi lembek. Kok jadi malu ati sendiri.

Maafkan aku mbak dan mas perawat RS Pasarminggu.

Sudah itu hatiku jadi miris dengar mahasiswa nyuara hotel bintang 5 berlebihan untuk istirahat para tenaga medis ini. Nggak mikir apa mereka, kalau yang tersedia dan bersedia menampung ya hotel itu. Nggak mikir apa mereka bahwa paramedis ini mau ngekost saja tidak ada yang menerima, ditolak dimana-mana. Sementara kalau pulang ke rumah, tetangga pada curiga dan nolak-nolak juga?

Atau, bagaimana kalau kost para mahasiswa itu sementara diberikan ke paramedik, dan jadikan mahasiswa sebagai tenaga sukarela merawat pasien Covid. Aku kok penasaran sikap mereka kalau diterapkan role playing itu. Bersediakah?

***

Episode 3
HOROR TADI MALAM

Jam 20.00 baru saja lewat, ketika tetiba sebelah kamar ada yang teriak-teriak. Apa yang diteriakkan tidak terlalu jelas. Maklum, kamar isolasi cukup rapat. Nyaris tidak ada udara bebas keluar masuk karena ruangan berAC.

Tak berapa lama terdengar suara beberapa suster merespons dari luar kamar, seperti menyuruh duduk, jangan ini, jangan itu, asli tidak kedengaran jelas artikulasinya dari kamarku. Cuma, heboh banget.

Tak lama terdengar pintu dibuka, dikunci kembali, dan suara berlarian menjauh. Rupanya para suster mengeluarkan satu pasien yang ketakutan, mengunci kamar itu kembali, dan langsung kabur semua karena tidak ada satu pun yang mengenakan APD.

Kudengar dari jauh mereka minta pasien yang dikeluarkan untuk tidak beranjak dari tempatnya sampai mereka siap. Siap pakai APD. Bukan persoalan sederhana APD ini. Dari baju, sepatu khusus, goggle dan perisai muka.

Saking penasaran, aku mengintip dari balik kaca pintu. Kulihat perempuan muda duduk di lantai sambil nangis. Usianya tak lebih dari 20 tahun. Di tangannya ada selang infus, kulihat sudah mulai memerah separuh selangnya karena darahnya naik. Melas lihat dirinya ketakutan. Badannya gemetar. Dadanya mringkus. Bibirnya tak lama mengundang suster, lirih.

Sepertinya dia panik melihat selang infusnya memerah.

Untung tidak berapa lama ada perawat laki-laki yang sudah ber-APD datang. Kulihat dari balik kaca, dia menginterogasi gadis itu. Kemudian masuk kamar sebelah. Terjadi semacam dialog, dan kemudian tindakan. Agak heboh di ruangan itu. Tapi kemudian menjadi tenang. Sepertinya mas perawat melakukan tindakan seperlunya agar dua pasien kamar sebelah jadi terkendali.

Ruangan luar kudengar kemudian disemprot desinfectant. Dan suster/perawat kembali masuk ke pos mereka.

Selesai? TIDAK!!

Malam itu menjadi cukup panjang. Suasana tenang segera pecah dengan teriakan panggilan: "Suster...!! Susteeeeeer..!!"

Baca lanjutannya: Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 2)

Related

Inspiration 2463815818928571379

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item