Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 2)

Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Teriakan berulang terus, sesekali ditingkahi gebrakan-gebrakan. Aku menduga pasien itu diikat ke tempat tidurnya dan meradang.

Duh penasaran betul, ada apa sebenarnya. Akhirnya saat visit perawat jam 23.00 malam, aku mendapat jawaban.

Kamar sebelah dihuni oleh dua orang perempuan muda. Yang teriak-teriak itu rupanya punya delusi kalau pasien satunya punya pisau dan mendekatinya. Itulah pangkal kehebohan. Jadi dia mengejar pasien satunya yang jadi ketakutan luar biasa, dan itulah yang membuat perawat mengeluarkan dulu pasien tertuduh bawa pisau ini, meski kemudian mereka kabur untuk ber-APD.

Benar dugaanku. Pasien delusi ini kemudian diikat di tempat tidurnya. Dan pasien yang semula kulihat ndeprok di luar, kemudian dimasukkan lagi. Pintu pun kembali dikunci.

Kasihan teman-teman perawat. Dapat momongan baru yang perlu perhatian sangat khusus seperti ini.

Malam-malam setelah ini sepertinya bakalan dinamis. Pasti teriakan dan amukan di tengah hening akan kembali menggelegar. Aku harus bersiap tak bisa tidur tenang. Semoga tidak berkepanjangan. Daripada tensiku naik lagi.

***

Episode 4
PINDAH LANTAI

Saat masuk rawat inap pertama di RS Pasarminggu, aku dibawa ke lantai 9. Satu ruangan bertiga, perempuan semua. Yang lain lumayan pendiam, sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi tak lama kami saling kenal nama, meski kemudian diam-diaman lagi. Sebut saja mereka A dan B.

Si A rupanya terpaksa meninggalkan bayinya, karena semua gejala covid muncul. Aku lihat dia sering memompa ASI-nya. Aku juga memperhatikan dia video call dengan anak-anaknya. Terbayang penderitaannya harus meninggalkan bocah-bocah, apalagi masih ada yang seharusnya nenen, di rumah. Aku lebih bisa berkomunikasi dengan A ini karena barengan masuk IGD, dan bed kami bersebelahan.

Sementara B adalah istri pekerja kapal pesiar. Hanya itu yang aku tangkap dari pembicaraannya dengan perawat. Selebihnya aku buta karena tidak banyak berkomunikasi dengannya.

Hanya sehari di lantai 9, sorenya aku dan A dipindah ke lantai 10. Deg-degan, dong. Kenapa dipindah? Jangan-jangan kami dicurigai benar ke arah covid. Saat aku tanya ke perawat kenapa kami dipindah, dia diam seribu bahasa. Dia menyibukkan diri mengemasi barang-barang kami. Kami didudukkan di kursi roda. Barang kami pangku dan kami berdua didorong menuju lift.

Proses pindah lantai ini seru.

Mari aku gambarkan layout lantai itu sejauh tangkapanku. Lantai 9 ini terbagi atas 2 kelompok ruangan. Sebut saja Sayap Barat dan Sayap Timur. Antara keduanya inilah terletak lift. Kalau tidak salah, ada 5 lift. Empat lift saling berhadapan, dan lift ke 5 terpisah. Antara Lift dengan Sayap Barat dan Timur dibatasi pintu, yang meskipun transparan karena pakai kaca, tapi cukup menutup rapat batas ruang.

Kursi roda kami berdua dari SayapTimur. Pas mau buka pintu menuju lift, security yang berada di bagian lift berteriak supaya perawat yang mendorong kami untuk menunggu.

Rupanya ada orang keluar dari lift akan berurusan di lantai itu. Security, yang memang tidak menggunakan APD, segera mengarahkan orang itu masuk dulu ke pintu emergency/exit tangga. Setelah itu security masuk ke Sayap Barat, jadi tetap bisa melihat kami dari balik kaca.

Ini gambaran situasinya:

"Stop, ada yang keluar dari lift!"

Suara langkah berderap, bergegas, dan pintu terbuka dan tertutup lagi.

"Oke, sudah. Silakan keluar...!"

"Pakai lift berapa?"

"Lift 3!"

Dan barulah kami diperbolehkan keluar dari Sayap Timur menuju lift yang terpisah, untuk ke lantai 10. Semuanya dilakukan dengan cepat, bergegas dan terkesan buru-buru.

Haduh, proses pindah lantai ini menurutku seru. Ada pengaturan. Ada instruksi-instruksi yang harus diikuti, supaya meminimalkan paparan. Teriakan-teriakan security mengatur flow lalu lintas kami. Instruksinya disampaikan tegas. Mendebarkan.

Saat di lift itulah pertanyaanku dijawab oleh perawat. Bahwa yang dipindahkan ke lantai 10 adalah yang lebih stabil kondisi kesehatannya. Lega rasanya.

Di lantai 10, aku dan A dimasukkan ke kamar yang berbeda. Dia di kamar 1001, sementara aku masuk kamar 1002. Di ruangan baru inilah aku nanti bertemu dengan roommate yang luar biasa. Kisah berlanjut.

***

#isolasicoronaseries
#sedangberlangsungsaatini

Ya Allah.. dua kematian di depan mataku...

*gemeteran belum bisa cerita*

***

#isolasicoronaseries
#updateterkini

Saat ini di ruang isolasi, aku ditinggal dengan dua jenazah di depanku.

Menyaksikan mereka sakaratul maut dalam waktu berdekatan itu sesuatu banget.

*Gemeteran...*

***

Episode 5
DUA PASIEN SERUANGANKU DIJEMPUT MAUT

Cerita tentang dua roomate-ku yang luar biasa di ruang isolasi covid, aku tunda dulu. Mereka saat ini sudah keluar dari rumah sakit dan sedang isolasi mandiri.

Aku ingin bercerita dulu tentang dua pasien yang jadi 'teman' baruku dua hari ini. Pagi ini mereka dijemput maut dalam waktu berdekatan. Jenazah keduanya masih bersamaku di ruangan isolasi.

Ini bukan kematian yang terjadi pertama kali di depan mataku. Dulu kelas 5 SD aku menghadapi sakaratul maut eyang putriku. Jadi bukan hal baru.

Kondisiku saat ini baik-baik saja. Soal jenazah, nggak apa-apa, kok. Aku tidak takut ditinggal sekamar sementara ini. Aku tahu suster sedang menghubungi keluarga mereka. Aku hanya kudu sabar saja.

Aku juga dalam kondisi siap kalau mau diambil Gusti Allah. Wis pasrah. Tapi asli. Saat ini aku sehat. Tidak ada keluhan berarti. Jadi aku menulis ini dalam keadaan baik-baik saja. Hanya tadi lumayan gemetaran karena emosional, kok iya gerak cepat betul malaikat maut menjemput keduanya... hanya hitungan menit dan terjadi di depanku.

Sarapan belum aku sentuh. Ora kolu. Nggak bisa nelan. Nggak apa-apa. Aku juga tidak merasa lapar. Apa pun, aku masih termangu dengan kejadian pagi ini.

Seperti biasa, pagi ini suster masuk jam 05.00 WIB. Membawakan sarapan dan obat pagi. Dia meletakkan sarapan dan obat di meja kami masing-masing. Mejaku, meja sebelahku, dan meja pasien seberangku.

Bersamaan, pasien sebelahku memanggil dia, sebut saja namanya Lia.

"Suster, sesek..."

"Baik Bu Lia, sebentar, ya," ujar suster yang kemudian menghampirinya. Memasangkan selang oksigen. Tapi, kemudian dia bergegas keluar ambil selang lain dan ventolin, dan segera memasangnya ke Lia.

Setelah selang ventolin terpasang baik, suster beranjak ke pasien seberang. Sebut saja namanya Sri.

"Bu Sri, Bu Sri... Maaf ya mau memasukkan susu lewat selang."

Sri ini saat masuk dua hari lalu sudah dalam keadaan tidak sadar. Stroke. Meski tak sadar, hari pertama gelisah. Kaki dan tangannya bergerak terus meski lemah. setiap suster visit, namanya dipanggil sudah tidak merespons.

Hari berikutnya, Sri lebih tenang. Dari jauh aku lihat napasnya masih ada. Saat suster visit pun nadinya masih bagus, hanya suhu tubuhnya tinggi.

Semalam jam 23.00 WIB, tensinya masih bagus. Suhunya sayang masih tinggi. Dan pagi ini jam 05.00 pagi, susunya tak jadi dituang lewat selang infus. Suster malah bergegas mengambil EKG dan alat-alat lain. Suster kedua merendenginya.

Baca lanjutannya: Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 3)

Related

Inspiration 8169734758777703845

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item