Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 3)

Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Keduanya segera disibukkan dengan Sri. Semua alat mengindikasikan penurunan fungsi tubuh. Dari dialog kedua suster, aku menangkap tensinya tinggal 60/30 dan terus drop. Tingkat oksigennya juga drop.

Dari kejauhan, aku tahu Sri sedang meregang ajal. Hatiku mencelos. Tidak pernah mudah melihat kematian di depan mata.

Aku alihkan ke Lia. Napasnya tersengal tapi masih teratur. Ventolin masih dihirupnya. Entah kenapa, hatiku mengatakan dia juga akan 'hilang'. Aku perhatikan semakin lama napasnya tak beraturan. Kepalanya terkulai.

"Suster, napas Lia melambat," ujarku ke kedua suster yang sedang melepaskan peralatan di tubuh Sri. Jelas Sri sudah meninggal.

Mendengar panggilanku, kedua suster langsung menuju ke tempat Lia. Semua alat diboyong mendekat ke tempat tidurnya. Keduanya sibuk memberikan pertolongan. Tapi lagi. Lia juga pergi. Tak bisa terselamatkan.

Hhhh... narik napas panjang

Sesaat aku tidak bisa memahami perasaanku. Seperti kebas. Tak merasakan apa-apa. Berikutnya, perlahan otakku mencerna. Ada dua kematian di depan mataku. Berurutan. Hanya dalam hitungan menit. Tubuhku gemetaran.

Tidak. Aku bukan sedang takut kalau nyawaku diambil-Nya juga. Aku pasrah, kok. Dan aku tahu kesehatanku cukup baik hari ini. Cuma, melihat kematian ganda dengan cara seperti ini tetap meruntuhkan pertahananku. Kepengen nangis rasanya.

Emosional.

Aku tunggu sampai suster selesai dengan kedua jenazah. Melepas semua alat bantu. Merapikan jenazah. Dan akhirnya menutup kain pembatas.

Setelah mereka keluar. Ruangan sepi. Hanya ada aku dan dua jenazah yang senyap. Aku segera menelepon anakku. Nangis.

***

Episode 6
JENAZAH DIPULASARA DI TEMPAT

Sedari pagi aku menunggu sendirian di kamar isolasi. Jenazah masih di tempatnya, tertutup kain pembatas.

Aku hanya bisa duduk diam. Sesekali membalas texting anak-anakku yang kuatir dengan kondisi simboknya ini, juga beberapa teman yang mencoba membesarkan hatiku. Terima kasih untuk semua doa dan semangat kalian. Aku sangat menghargainya.

Sejam... dua jam... tiga jam... Belum juga jenazah dipindahkan.

Waktu segitu terasa lama. Tapi aku juga jadi punya kesempatan merenung. Betapa hidup ini singkat. Kita tidak punya kuasa apa-apa kalau takdir kematian sudah jatuh.

Rayakanlah hidupmu sebaik-baiknya, Nina. Bergunalah untuk yang lain meski sekecil apa pun.

Jam 11.30 WIB, kunci pintu dibuka. Empat orang masuk. Rupanya mereka yang akan memindahkan jenazah. Salah satu permisi menutup kain pembatasku, agar aku tak perlu melihat mereka memprosesnya.

Dari balik pembatas aku mendengarkan semua. Dan ini yang bisa aku tangkap berdasarkan indera pendengaranku:

Mereka mentayamumkan jenazah, mengafani, membungkusnya dengan plastik, memasukkannya ke peti mati, dan menyemprot peti mati dengan desinfektan. Semua dilakukan di kamar. Barulah peti mati didorong keluar.

Kematian...

Semoga waktuku masih cukup untuk melihat anak-anakku menjadi orang. Semoga hidupku memberikan manfaat bagi orang lain.

Rayakanlah hidupmu teman. Selagi kau bisa, syukuri kehidupan. Jangan habiskan waktu untuk menghujat dan mencerca. Berbuatlah.

Selagi waktumu ada.

***

Episode 7
TRAGIKOMEDI HASIL SWAB

Ah, ngomongin swab kok gemes-gemes gimanaaa gitu. Tahu swab, kan? Itu salah satu cara untuk mengambil sekresi, baik dari tenggorokan atau nasofaring, yaitu hidung bagian atas. Aku cerita proses swab aku aja ya, yaitu lewat hidung.

Prosesnya menggunakan semacam cotton bud, cuma batangnya lebih panjang. Kita diminta tiduran dengan kepala mendongak, dan 'cotton bud' dimasukkan ke hidung jauh ke atas, diputar 8-10 kali untuk mendapatkan lendir yang ada di sana.

Lendir inilah yang akan dianalisa dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR intinya adalah pemeriksaan untuk mencocokkan DNA atau RNA yang dipunyai virus. Ibaratnya seperti tes DNA, tapi untuk virus di tubuh kita.

Proses laboratoriumnya memakan waktu 3-4 hari. Itu normalnya. Tapi hari gini, saat ribuan hasil swab harus dianalisa, bisa dibayangkan antriannya? Sampai capek hati nungguin hasilnya... hiks.

Saat masuk IGD di RS Pasarminggu, semua gejala covid aku punya: panas tinggi di atas 38, batuk, sesak napas, hasil thorax berkabut - ciri pneumonia. Lengkap.

Belum lagi komorbid kondisi bawaan yang biasanya memburuk seiring serangan virus, seperti diabetes melitus dan hipertensi. Aku punya semua itu. Plussss, ini plus-nya. Rontgen juga menunjukkan kalau ada pembengkakan jantung. Kurang lengkap apa coba.

Wis, langsung rawat inap. Tidak ada persiapan apa-apa. Boro-boro baju, tanganku hanya menjinjing sebotol air. Anakku yang tidak boleh nungguin karena ruangan berupa karantina, langsung pulang. Baru paginya ia kirimkan supply baju dll.

Ok, balik ke swab.

Sejak masuk kamar, aku berharap segera di-swab. Biar muncul kepastian positif atau negatif Corona. Tapi yang ada, hari pertama, dua pasien sekamarku di-swab, aku tidak.

Saat pindah ke lantai 10, hari berikutnya, selang 3 hari kemudian, lagi, dua pasien di ruanganku di-swab, aku tidak. Gondok, lah. Dan sudah aku ceritakan ngamukku di tulisan sebelumnya, kan?

Nah, hari kelima, barulah aku di-swab 1.

"Hasilnya berapa lama, Mas?"

"Paling dua - tiga hari, Bu."

Ok, kita tunggu, lah.

Empat hari kemudian yang ada kami seruangan di-swab semua. Jadi teman-teman sekamarku sudah di-swab 3 kali dan aku dua kali.

Sehari, dua hari, tiga hari berikutnya, salah satu pasien, sebut namanya Lydia, dinyatakan negatif, dan boleh pulang. Sementara aku dan Ria, pasien lainnya, belum ada hasil swab.

Sehari setelahnya, Ria dapat vonis kalau dirinya positif Corona dan dipindahkan ke lantai 8, dijadikan satu dengan pasien lain yang sudah positif.

Lha aku?

Hari itu aku tidak mendapatkan jawaban, juga hari ke 9 dan 10. Duh, katanya 3-4 hari. Ini sudah hari ke 10, mana hasilnya? Kepengen rasanya gedruk-gedruk kakiku saking gemas, tapi kok ya tidak lucu. Mosok rambut kepala sudah putih semua begini, akan berlaku kayak anak kecil yang diambil mainannya, sih?

Jadilah, nunggu lagi.

Eh, tapi jelang siang hari itu, aku yang intens texting dengan teman kuliah seangkatan dapat ide bagus. Ide dia, dong, bukan ideku. Sayang dia tidak mau disebutkan namanya.

Mendengar kasusku, dia berinisiatif menghubungi Brigjen Pol Dr. Musyafak, sekarang jadi Wabendum PP Kagama dan Sekjen PP Kagama Ari Dwipayana. Lho, apa hubungan keduanya dengan kasus Corona?

"Beliau berdua itu masuk Satgas Covid-19 Kagama, Nin."

Aku sempat melongo. Baru tahu kalau Kagama punya gugus satuan tugas khusus untuk menanggulangi bencana non alam ini!

Keren.

"Aku akan minta tolong ke Pak Musyafak untuk melacak hasil swab-mu. Beliau semestinya punya jalur ke situ. Kasih aku waktu."

"Ok, semoga ada hasilnya."

"Berdoa saja, at least kita sudah berusaha mencari tahu," ujar temanku itu.

Tidak sampai satu jam, dia mengabari kalau Pak Mus memang punya koneksi, dan akan mencari tahu posisi data swab-ku. Termasuk akan kontak kepala rumah sakit tempatku rawat inap, karena beliau mengenalnya dengan baik.

Secercah harapan membuncah. Aku harap-harap cemas.

Jelang Maghrib, tiba-tiba seorang dokter muda masuk diringi satu perawat.

"Bu, ibu ada keluhan (sakit), kah?"

"Tidak, Dok. Rasanya aku sudah membaik. Aku tidak sesak napas lagi dan merasa sehat."

Baca lanjutannya: Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 4)

Related

Inspiration 6870438998142248194

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item