Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit (Bagian 4)

 Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pasien Corona Menjalani Hari demi Hari di Rumah Sakit - Bagian 3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

"Baik, Bu. Karena tidak ada keluhan, dan hasil swab ibu negatif, bisa jadi ibu segera pulang. Tapi aku masih harus mengkonsultasikannya dengan dokter yang menangani Ibu," ujarnya sambil ke luar ruangan bareng suster.

Tak lama suster masuk lagi.

"Bu, sudah boleh pulang. Yang jemput diminta bawa fotocopy KTP, Kartu Keluarga, dan meterai 6.000, ya."

Huwaaa, boleh pulang!!!

"Boleh pulang sekarang, Sus?"

"Iya. Anak ibu yang jemput? Diminta datang saja setelah isya."

Baiklah. Aku lantas menghubungi temanku.

"Bro, terima kasih. Pak Mus rupanya sudah berhasil melacak hasil swab aku. Hasilnya negatif, nih. Barusan ada dokter datang, ngabari kalau aku boleh pulang. Sampaikan maturnuwunku ke beliau, ya. Lemah teles, Gusti Allah yang mbales."

"Yess, melu seneng, Nin. Segera akan aku sampaikan ke beliau."

Jadilah.

Aku segera berkoordinasi dengan anakku, Rengga, minta jemput setelah isya. Skenarionya, meski dia jemput, tapi aku akan pulang dengan taksi. Akibat PSBB kan nggak boleh boncengan motor, tuh. Senjata dia cuma motor.

Anakku yang di rumah, Sekar, kuminta menyiapkan ember dengan deterjen di kamar mandi, juga handuk dan baju ganti. Jadi nanti secepat aku masuk rumah, tanpa menyentuh apa-apa, langsung menuju kamar mandi dengan semua bontotan baju gantiku dari rumah sakit, agar bisa aku cuci semuanya dengan detergent.

"Aku sediakan det*l juga deh, jadi ibu nanti bisa mandi pakai itu," kata Sekar.

Deal! Dan aku bergegas menata bajuku, memasukkannya ke tas plastik besar yang disediakan suster. Semua barangku termasuk tas harus masuk ke situ.

Selesai? TIDAAAAKKK!!!

Tiba-tiba, salah satu suster mengetuk pintuku. Dari balik kaca, dia bertanya berapa nomor WA-ku. Aku jawab, lah. Dan dia berlalu.

Aku kembali duduk di tempat tidur saat anakku texting, protes kalau katanya kepulanganku dibatalkan.

Apa?

HP-ku berdering. Aku angkat. Suara suster terdengan di ujung sana.

"Ibu, rupanya ada salah baca tentang hasil swab. Ibu dinyatakan positif, dan masih harus isolasi lagi."

Hatiku langsung mencelos, berusaha mencerna sikon yang baru masuk ke benakku. Mau nangis rasanya. Harapan hanya diberikan untukku 15 menit saja!

Sejenak termangu. Ya Allah, apa mau-Mu?

Seribu pertanyaan aku ajukan kepada-Nya. Perasaanku meruyak sangat tak jelas, antara mau nangis, tapi juga mau tertawa. Situasi ini pasti akan seru kalau dipaparkan di panggung. Tragis, tapi juga komikal. Hidup rupanya sedang bermain-main denganku, dan aku pun tersenyum.

Ikhlas.

Gusti sang pemberi hidup, mengharuskanku menjalani isolasi lagi. Dia tidak ingin anak-anakku terpapar virus ini...

*Kutarik napas panjang*

Ya Allah. Terima kasih sudah bersendau-gurau denganku hari ini. Aku tahu, semua kuasa-Mu.

Hanya kepada-Mu aku menyembah. Hanya kepada-Mu aku minta pertolongan.

***

Episode 8
NGOMAH

Kalian tahu ngomah? Itu, kondisi di mana kita sudah nyaman di satu tempat. Feel like home. Itulah ngomah.

Di ruang isolasi setelah beberapa hari, akhirnya aku juga membiasakan diri.

Bisa bayangkan ruang isolasi? Ruang tertutup, dikunci bahkan. Pada kasus Corona ini, masuknya suster dan tenaga medis lainnya terjadwal. Di sini adalah jam 05.00 - 11.00 - 17.00 dan 23.00 WIB.

Empat kali sehari, untuk supply makanan, obat, ukur tensi dan suhu tubuh. Selebihnya mereka tidak bisa masuk sembarangan karena keterbatasan APD (Alat Pelindung Diri). Bahkan misalnya pasien yang sudah menggunakan pampers dan BAB pun, baru akan mendapatkan bantuan pada jam yang sudah ditentukan.

Pada saat masuk, sesak napasku parah. Dua hari aku di ventolin, dan menggunakan selang oksigen sepanjang waktu. Masih boleh turun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi. Tentu sambil nyangking botol infus karena jarumnya sudah tertanam di nadi tangan.

Hari pertama tidak mudah. Kalau aku bergerak terlalu cepat, napas langsung ngos-ngosan. Ngunyah makanan terlalu bersemangat, juga langsung engap. Padahal aku ini orangnya sak-sek, trengginas, serba cepat, dan mau semua selesai dalam waktu singkat. Eh, sekarang kudu serba lambat. Menyiksa banget. Mosok aku disuruh jadi kungkang alias sloth, yang bergerak sangaaaat lamban. Tapi itulah yang terjadi.

Hari ketiga, napas mulai mulai ada perubahan. Ventolin masih diberikan pagi hari, tapi selang oksigen sudah tidak kupakai seharian. Sesak napas tak lagi memburu, hanya sesekali saja datang dan langsung kuraih oksigen. Kupakai sebentaran saja. Setelah nafas membaik, kulepas lagi.

Selebihnya aku jadi punya waktu untuk eksplorasi sekitarku. Berkenalan lebih intens dengan dua orang pasien lain, sebut saja Ria dan Lydia. Tentang mereka, nanti aku tulis di bagian lain.

Aku juga sudah bisa ganti baju sendiri. Ini bukan persoalan mudah karena keterikatanku dengan infus. Kantong infus harus masuk duluan di lengan baju. Misal infus di tangan kanan, ya dia harus masuk dulu dari dalam bagian baju, keluar di lengan kanan, baru tangan kita mengikuti. Pernah lho, aku masukin kantong infus itu ke lengan kanan, lupa kalau infus sudah dipindah ke sebelah kiri! Asli ngakak sendiri.

Hari keempat, sudah tak tahan rasanya untuk segera mandi. Tapi lagi, mikir panjang karena tangan 'terikat' infus. Hm, boleh basah tidak, ya? Karena mau tidak mau, jarum yang nempel di tangan pasti basah kena air. Tapi saking badan sudah tidak nyaman empat hari nggak mandi, nekatlah aku. Mandi. Basah-basahlah.

Aku keramas 3 kali, sabunan 3 kali. Biarin, karena aku tahu bakalan repot banget kalau setiap hari mandi. Lagian, ruangan berAC kan, aku tidak berkeringat terlalu banyak, jadi mandi dua hari sekali rasanya cukup. Juga irit ganti baju. Aku hitung anakku hanya mengirim 8 baju ganti, tepatnya daster, sesuai permintaanku.

Seiring waktu, menipis juga baju ganti. Jadi mikir, bagaimana caranya, ya? Bisa sih minta anakku kirim baju bersih dan membawa pulang baju kotor. Tapi kan kasihan, jarak ke rumah sakit lumayan. Belum lagi aku dengar dia juga sedang flu. Mana baju kotor nanti harus dicuci dengan treatment khusus.

Akhirnya aku putuskan untuk mencuci baju dan celana dalamku sendiri. Tidak semua baju kotor, lah. Aku pilihin baju yang ringan, biar nanti mudah kering. Aku kumpulkan ada tiga yang begini. Cuci, lah, pakai sabun mandi. Kudu hati-hati supaya jarum infus tetap pada tempatnya. Jadi maklumi saja kalau tidak bersih-bersih amat. Yang penting bau keringat bablas.

Cucian aku gantung di tempat handuk, yang tersedia di kamar mandi. Nunggu hingga tetesnya habis. Setelah itu baru baju aku angin-anginkan di gantungan infus. Habis mau jemur kan nggak bisa, tho.

Kalau aku perhatikan, kok kayak pedagang pasar Tanah Abang, ya. Baju digantung-gantung. Untung di sini kagak ada yang beli... *nyengir.*

Begitu deh. Kita ini diberi kemampuan beradaptasi. Kelangsungan hidup dipengaruhi oleh seberapa struggle kita mengelola kesulitan dan rintangan. Jadi, apa pun hambatan di depan, sebaiknya segera dicari solusi. Gunakan energi untuk menyelesaikan masalah, bukan mencarinya.

Jadi, aku mulai ngomah. Dan itu memberikan kontribusi ketenangan batinku. Feel like home. Dan kita bisa lebih pasrah menerima keterbatasan yang ada.

Selamat pagi teman. Semoga hidupmu dimudahkan Gusti Allah.


Related

Inspiration 6159476467245157425

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item