Kisah Rabiah Al-Adawiyah, Sufi Wanita Peletak Dasar Mazhab Cinta

Kisah Rabiah Al-Adawiyah, Sufi Wanita Peletak Dasar Mazhab Cinta, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Rabiah diperkirakan lahir pada 713-717 M atau 95-99 H di Kota Basrah. Ia adalah ibu para sufi besar setelahnya. Pandangan-pandangan spiritualnya terus hidup di kalangan sufi selanjutnya. Ulama yang menaruh hormat kepadanya antara lain Sufyan At-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi. 

Rabiatul Adawiyah adalah ahli ibadah perempuan yang kerap menangis dan bersedih karena ingat kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allah. Jika mendengar keterangan perihal neraka, Rabiah jatuh tak sadarkan diri untuk beberapa saat.

Rabiatul Adawiyah dapat dikategorikan sebagai khawashul khawash dalam tingkatan Imam Al-Ghazali, atau super istimewa, tingkat tertinggi setelah tingkat orang kebanyakan (awam) dan tingkat orang istimewa (khawash).

Kalau kebanyakan orang beristighfar atau meminta ampunan Allah atas dosa, Rabiah beristighfar untuk ibadah yang tidak sempurna. Rabiah menganggap ibadahnya penuh kekurangan, baik secara lahiriyah-formal maupun batin-spiritual, karena masih tercampur niat-niat yang kurang tulus dan segala penyakit batin yang menyertai ibadah tersebut.

Istighfar di akhir ibadah merupakan pengakuan atas kekurangan dalam ibadah tersebut.

Ahli makrifat menyepakati anjuran istighfar usai beramal saleh. Dalam riwayat, para sahabat bercerita bahwa Rasulullah SAW beristighfar tiga kali tiap selepas sembahyang wajib. Maksudnya, menetapkan syariat istighfar usai beramal bagi umatnya, sekaligus mengingatkan ketidaksempurnaan ibadah mereka. (As-Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah). 

Kita kemudian mengenal ucapan yang populer Rabiatul Adawiyah, “Istighfaruna yahtaju ila istigfarin” atau “Kalimat istighfar atau permohonan ampun kita (baca: ibadah) perlu juga dimintakan ampun kembali.” (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin; An-Nawawi, Al-Adzkar; dan As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 65).

Rabiah bukan tipe orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Ia begitu zuhud. Ia kerap menolak pemberian orang lain. Ia akan jujur mengatakan, “Aku tidak terlalu berhajat pada dunia.” 

Memasuki usia ke-80, fisiknya melemah. Tubuhnya begitu kurus, sehingga hampir-hampir jatuh ketika berjalan. Tempat sujud Rabiah persis seperti tempat genangan air. Tempat sujudnya selalu basah dengan air mata. 

Rabiah sering terlibat percakapan dengan Sufyan At-Tsauri. Suatu ketika, ia mendengar Sufyan At-Tsauri menyatakan prihatin atas dirinya, “Alangkah sedihnya.”

Rabiah lalu menjawab, “Betapa kecil kesedihan itu. Andai aku bersedih, niscaya tidak ada kehidupan di sana.”

Sufyan At-Tsauri pernah berdoa di dekat Rabiah, “Ya Allah, berikanlah ridha-Mu padaku.” Rabiah menanggapinya, “Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan meminta ridha-Nya. Sedangkan dirimu tidak ridha atas ketentuan-Nya.” Sufyan At-Tsauri kemudian beristighfar. (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin: 346). 

Rabiah pernah ditanya, kapan seorang hamba dikatakan ridha atas ketentuan Allah. Ia mengatakan, “Ketika musibah membuatnya bahagia, sebagaimana kebahagiaannya ketika mendapatkan nikmat.” (Imam Al-Qusyairi, Risalatul Qusyairiyah: 89).

Di tengah luapan rindunya yang tak terkendali, Rabiah pernah melontarkan kalimat dalam munajatnya, “Apakah dengan api aku harus membakar hati ini yang mencintai-Mu?” (Imam Al-Qusyairi, Risalatul Qusyairiyah: 147).

Rabiah dikenal sebagai sufi bermazhab cinta. Salah satu Syarah Al-Hikam mengutip syair yang cukup mewakili pandangan sufistiknya. Syair Rabiah diterjemahkan dalam larik berikut ini:

Semuanya menyembah-Mu karena takut neraka. Mereka menganggap keselamatan darinya sebagai bagian (untung) melimpah. Atau mereka menempati surga, lalu  mendapatkan istana dan meminum air Salsabila. Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka. Aku tidak menemukan atas cintaku imbalan sebanding. 

Rabiah wafat sekitar tahun 801 M atau 185 H. Ia wafat pada usia 83 tahun. Rabiah ingin memastikan kafan pembungkus jenazahnya berasal dari harta yang jelas.

Oleh karena itu, ia telah menyiapkan jauh-jauh hari kain kafan yang kelak membungkus jenazahnya. Ia semasa hidup meletakkan kain kafan itu di depannya, tepatnya di tempat sujudnya. (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66).

Related

Moslem World 5265298894315882499

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item