Mengapa Ada Orang-orang yang Percaya Konspirasi Virus Corona? (Bagian 1)

Mengapa Ada Orang-orang yang Percaya Konspirasi Virus Corona? naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Setiap krisis kesehatan selalu menghasilkan pandemi misinformasi. Pada 1980-an hingga 2000-an, kita menyaksikan penyebaran dusta mengenai AIDS. Misalnya: virus HIV diciptakan di laboratorium pemerintah, atau teori bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan dengan susu kambing. Klaim-klaim ini meningkatkan perilaku berisiko dan memperburuk krisis.

Kini juga kita lihat membanjirnya berita palsu seputar pandemi virus corona. Dari Facebook sampai pesan WhatsApp, kerap kita temukan informasi keliru mencakup soal penyebab wabah hingga cara pencegahan dari penyakit tersebut. Berita-berita palsu ini bisa membawa kerugian.

Misalnya ada laporan dari sebuah provinsi di Iran yang menyebut banyak orang meninggal setelah minum alkohol, berdasarkan klaim bahwa ini bisa melindungi diri dari Covid-19.

Berita palsu semacam ini bisa memberi perasaan aman palsu dan membuat kita abai pada panduan dari pemerintah, hingga mengikis kepercayaan terhadap petugas kesehatan.

Ada bukti bahwa ide yang termaktub dalam berita palsu lekat di benak kita.

Sebuah survey dari YouGov dan The Economist bulan Maret 2020 memperlihatkan bahwa 13% orang Amerika percaya bahwa Covid-19 adalah hoaks, sedangkan 49% percaya bahwa pandemi ini sesungguhnya buatan manusia. Satu hal lagi: banyak orang berpendidikan termasuk yang percaya hal-hal seperti itu.

Lihat misalnya penulis Kelly Brogan, seorang yang percaya teori konspirasi seputar Covid-19. Kelly lulusan Massachusetts Institute of Technology dan belajar psikiatri di Cornell University. Namun ia mengabaikan bukti akan bahaya virus tersebut yang sudah terjadi di China dan Italia. Ia bahkan mempertanyakan teori ilmiah sembari mempromosikan ide-ide sains palsu untuk menjelaskan virus ini.

Bahkan beberapa pemimpin dunia – yang diharapkan punya penilaian lebih baik soal desas-desus – telah ikut menyebarkan informasi keliru soal risiko penyakit ini dan mempromosikan obat-obatan yang belum terbukti, yang dampaknya malah memperburuk keadaan.

Para psikolog sudah mempelajari fenomena ini, dan menyarankan beberapa hal untuk melindungi diri dari kebohongan dan kekeliruan informasi.

Limpahan informasi

Masalahnya berawal dari sifat pesan-pesan ini sendiri. Kita mendapat informasi setiap hari, dan kerap mengandalkan intuisi untuk menentukan apakah sesuatu benar atau tidak. Para penyebar informasi palsu bisa membuat berita mereka terasa “ada benarnya”, melalui akal-akalan sederhana yang membuat kita jadi tak berpikir kritis.

Eryn Newman, dari Australian National University, memperlihatkan adanya foto yang mengiringi pernyataan tertentu akan meningkatkan kepercayaan terhadap akurasi pernyataan tersebut, sekalipun foto itu nyaris tak berhubungan.

Foto generik virus yang mengiringi klaim tentang cara pengobatan baru tentu tidak akan membuktikan kebenaran klaim itu, tetapi membantu kita memvisualisasinya. Maka “kelancaran dalam memproses” ini membuat kita berpikir bahwa berita tersebut benar.

Karena alasan serupa, informasi palsu juga bisa menyertakan bahasa deskriptif dan kisah personal. Terkadang ditampilkan fakta atau tokoh – atau lembaga kesehatan terkenal – agar membuat kebohongan itu meyakinkan karena terkait dengan pengetahuan yang sudah kita punya sebelumnya.

Pernyataan sederhana yang diulang-ulang, baik dengan teks yang sama atau diubah, bisa meningkatkan “kebenaran” melalui meningkatnya perasaan akrab terhadap informasi terebut. Lalu kita kerap keliru menganggapnya sebagai kebenaran faktual.

Maka semakin kita melihat sesuatu di pasokan berita kita, semakin sering kita menganggapnya benar sekalipun awalnya kita skeptis terhadapnya.

Membagikan sebelum memikirkan

Akal-akalan ini telah lama dipahami oleh ahli propaganda dan penyebar informasi palsu, dan media sosial memperburuk kecenderungan ini. Bukti terbaru memperlihatkan banyak orang menyebar muatan tanpa memikirkan akurasinya.

Gordon Pennycook, seorang peneliti psikologi misinformasi dari University of Regina, Kanada, melakukan penelitian. Ia menemukan peserta penelitiannya bisa mengenali berita palsu sebanyak 25%. Ketika ditanya apakah mereka akan menyebarkan informasi tersebut, 35% peserta menjawab akan menyebarkannya.

“Ini memperlihatkan orang akan membagikan informasi yang, jika mereka pikirkan baik-baik, mereka tahu bahwa informasi itu salah,” kata Pennycook.

Tampaknya orang lebih memikirkan kemungkinan unggahan mereka akan dapat ‘suka’ atau ‘retweet’ ketimbang memikirkan akurasi unggahan itu. “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran,” kata Pennycook. “Ia memberi insentif pada keterlibatan”.

Atau mungkin orang berpikir bisa mengalihkan tanggung jawab penilaian pada orang lain. Banyak yang membagi informasi palsu dengan pengumuman di depan, “saya tak tahu ini benar atau tidak.”

Baca lanjutannya: Mengapa Ada Orang-orang yang Percaya Konspirasi Virus Corona? (Bagian 2)

Related

Science 2522777174730240045

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item