Setelah Wabah Corona Berlalu, Apakah Kita Akan Kembali Berjabat Tangan dan Bersentuhan?

Setelah Wabah Corona Berlalu, Apakah Kita Akan Kembali Berjabat Tangan dan Bersentuhan? naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Jabat tangan mungkin salah satu kebiasaan manusia yang sulit untuk ditinggalkan sesudah pandemi ini. Namun ada alternatif untuk itu.

Di paruh pertama abad ke-20, banyak psikolog yang percaya bahwa memperlihatkan afeksi kepada anak-anak dipandang sebagai sikap sentimental tanpa ada kegunaan nyata. Bahkan mereka memperingkatkan hal itu berisiko menyebarkan penyakit dan menambah masalah psikologis bagi orang dewasa.

Dalam buku Don't Look, Don't Touch, ahli perilaku Val Curtis dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan, salah satu alasan kenapa jabat tangan dan ciuman masih bertahan karena orang saling percaya sekalipun ada risiko penularan. Maka sejarah praktek ini muncul dan hilang tergantung situasi kesehatan masyarakat.

Tahun 1920-an, artikel di American Journal of Nursing mengingatkan tangan merupakan alat transfer bakteri. Ia menyarankan agar orang Amerika mengadopsi kebiasaan China untuk menyatakan salam dengan mengguncang tangan di depan dada.

Di tahun 2015, ada upaya mengurangi jabat tangan. Di rumah sakit UCLA sempat ada pemberlakuan zona bebas jabat tangan di unit perawatan intensif (ICU).

Di Indonesia dan banyak negara Muslim, jabat tangan antar jenis kelamin juga sering dihindari karena alasan agama. Sekalipun begitu, jabat tangan menjadi kebiasaan yang nyaris universal di abad ke-20 sebagai simbol salam yang profesional.

Beberapa kajian ilmiah menyatakan jabat tangan mengaktifkan sebagian otak yang sama dengan yang diaktifkan oleh makan enak, minum, bahkan seks.

Nasib jabat tangan?

Bulan April lalu, Dr Anthony Fauci, anggota tim satgas penanganan virus corona Gedung Putih, menyatakan, “menurut saya, kita tak akan berjabat tangan lagi”.

Menurutnya, ini tak hanya mencegah penyebaran virus corona, tapi juga bisa menekan angka penyakit lain, seperti influenza.

Panduan jaga jarak juga mungkin akan lama diberlakukan, khususnya bagi kelompok rentan seperti orang tua dan orang berpenyakit, seperti penyakit paru, obesitas dan diabetes.

Ini akan menciptakan “distopia fiksi ilmiah” di mana masyarakat terbelah dua: antara mereka yang bisa bersentuhan dan mereka yang tetap harus terisolasi, kata Dr Stuart Wolf dari Dell Medical.

Katanya lagi, ini akan membawa konsekuensi psikologis yang besar. “Kita sudah menempatkan orang muda dalam posisi utama di masyarakat. Pembatasan artifisial seperti itu akan berdampak besar terhadap orang-orang”.

Dorongan untuk bersalaman itu sudah mendalam pada diri kita. Ini jadi alasan mengapa Presiden AS diperkirakan bisa bersalaman dengan sekitar 65.000 orang per tahun.

Banyak pilihan untuk salam nirkontak. Membungkuk, misalnya, sudah dipraktikkan di banyak tempat dan dianggap menyumbang kematian akibat Covid-19 lebih sedikit di Thailand. Juga ada melambai, tersenyum dan berbagai cara lain.

Namun menurut Prof Legare, ironi dari Covid-19 adalah: saat orang dihadapkan dengan keadaan yang penuh tekanan, justru manusia butuh sentuhan sesama. “Kita merespons orang yang berduka atau terkena musibah dengan pelukan, atau duduk di sisi orang tersebut sambil menyentuh bahunya”.

Sentuhan dengan kepalan atau siku tidak bisa menggantikan keterhubungan manusia.

Pelukan

Karena profesinya berkaitan dengan kesehatan masyarakat, termasuk penyakit menular, Deliana Garcia telah mulai meninggalkan jabat tangan. Namun kebiasaannya tetap sulit diubah.

“Saya fanatik terhadap pelukan,” katanya. Terutama ini dia lakukan terhadap ibunya yang berusia 85 tahun. “Kami sangat dekat, dan saya selalu ingin berjalan ke arahnya, mencium mukanya sambil bilang saya sayang padanya”.

Dorongan kuat ini bertentangan dengan kekhawatirannya soal penularan. Maka mereka berdua sekarang seperti “menari dengan canggung”, kata Deliana.

“Bahkan ketika ia mendekat, saya jadi serba salah. Gimana kalau saya bikin dia sakit?” kata Deliana.

Sekalipun sulit membayangkan masa depan tanpa jabat tangan atau sentuhan, lebih sulit membayangkan jika yang terjadi sebaliknya. Profesor psikologi dari Princeton University, Elke Weber, menyatakan bahwa menghindar jabat tangan tidak merupakan reaksi berlebihan.

“Menyintas dan mencoba tetap hidup adalah dorongan dasar manusia. Pilihannya adalah kembali seperti sedia kala, dan mengabaikan fakta bahwa orang tua, orang obesitas, dan orang berpenyakit bawaan, akan meninggal dunia hingga kita menciptakan kekebalan kelompok – yang akan memakan waktu lama”.

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

Science 9019319367713456827

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item