Telat Bayar Tagihan Kartu Kredit Akibat Wabah Corona, Nasabah Dipermalukan
https://www.naviri.org/2020/05/telat-bayar-tagihan-kartu-kredit-akibat-corona.html
Naviri Magazine - Gali lubang tutup lubang tidak pernah menjadi kebiasaan Rina (44), pemilik cafe kecil-kecilan di Kota Bandung, Jawa Barat. Selain karena pandai mengatur uang dan disiplin, Rina memiliki pengalaman selaku eks relationship manager bank asing. Ini membuatnya terlatih untuk menggunakan uang, memutar modal, hingga mengatur utang.
Namun, virus corona yang menyebar cepat dalam waktu singkat menggerus bisnisnya yang belum genap satu tahun. Menutup usaha lebih dari sebulan terakhir bukan solusi. Membuka kembali usahanya sepekan terakhir ini pun belum membuahkan hasil.
Sementara, debt collector terus mengejar Rina. Ia memiliki tunggakan kartu kredit Rp40 juta yang digunakan untuk membeli alat dan bahan makanan untuk kebutuhan cafe-nya. Padahal, selama ini, ia mengklaim tak pernah sekali pun terlambat membayar tagihan.
"Sialnya, alat dan bahan makanan belum sempat digunakan, cafe sudah terpaksa tutup, utang berjalan dan harus dibayar. Selain itu, sewa ruko, listrik, gaji karyawan, harus tetap dibayarkan. Sementara pemasukan tidak ada, saya kehabisan cash," ujar Rina lirih.
Belum lagi uang sekolah dua anak-anaknya, uang les, kebutuhan sehari-hari di rumah tangganya. Padahal, Rina satu-satunya sumber keuangan keluarga. Ia menjanda karena sang suami meninggal 10 tahun silam. Wajar bila ia menggambarkan kepalanya seolah mau pecah.
"Saya minta waktu menunda pembayaran, barang 10 hari, sembari saya memaksakan diri membuka cafe, agar ada pemasukan. Eh, saya diteror, dikata-katain, dimasukkan dalam grup WhatsApp dengan tajuk 'buronan utang'. Saya benar-benar sakit hati," terang dia.
Tak terima dengan perlakuan tersebut, Rina pun berangkat ke rumah seorang teman. Ia menggadaikan sedan yang selalu menemaninya dua tahun terakhir, demi mendapatkan uang segar Rp50 juta. Tabungannya sudah amblas Rp85 juta, guna menutup operasional cafe dan membayar tagihan supplier.
"Saya bayar itu kartu kredit, langsung saya minta tutup. Saya nggak rela diperlakukan hina. Saya bilang teman saya, titip mobil dua bulan, nanti saya tebus. Cafe kembali buka, saya berharap sebulan ke depan sudah ada pemasukan dari pesanan online," katanya.
Setali tiga uang. Krisna (37), karyawan swasta, juga mengaku dikejar-kejar debt collector kartu kredit di tengah pandemi covid-19. Lebih ironis lagi, karena tagihan kartu kreditnya cuma Rp2.750.000.
"Terlambat dibayarkan empat hari, karena keputusan perusahaan kan gaji dipangkas 20 persen, terus dibayarkan dua kali. Dipecah. Saya duluin kebutuhan sehari-hari dong. Saya bilang ke penagih di telepon, saya izin telat seminggu. Saya bayar bunga dan dendanya. Direspons oke," cerita Krisna.
Ndilalah, baru hari keempat, Krisna kaget ketika dering WhatsApp teleponnya berbunyi terus menerus dari penagih utang kartu kredit. Ia tak merespons. Selang beberapa jam, ia sudah menjadi salah satu peserta kelompok 'tukang ngutang' yang dimasukkan oleh penagih sebelumnya.
Ia sempat bertanya maksud dari grup WhatsApp tersebut. Alih-alih mendapat jawaban, ia justru dicaci maki di antara orang-orang yang berhamburan keluar meninggalkan grup tersebut. "Saya marah sekali. Saking marahnya, saya suruh dia datang ke rumah untuk ambil uangnya."
Niat baik Krisna membayar tunai utangnya itu tak bersambut. Si penagih utang justru meneror pagi, siang, dan malam ke ponselnya. Tanpa jeda sampai tiga hari setelah teror di grup WhatsApp.
"Saya tunaikan janji persis sepekan. Saya datang ke kantor cabang terdekat bank kartu kredit, saya kembalikan kartunya, saya bayar utang. Saya bilang, kalau masih ada yang telepon meneror saya, saya akan lapor ke OJK dan kasih tahu wartawan," kata Krisna.
Sedikit bercerita, Krisna menjadi nasabah kartu kredit bank tersebut sudah lebih dari 10 tahun. Tak pernah sekali pun ia terlambat bayar. Bahkan, ia mengklaim selalu membayar penuh seluruh tagihan. Bukan pembayaran minimal. Sayangnya, cacat satu kali menutup rekam jejaknya yang baik selama 10 tahun terakhir.
"Saya kapok. Nggak mau lagi punya urusan sama bank itu."
Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Martha, mengaku belum menerima laporan terkait. Namun, ia berpendapat, seharusnya seluruh penerbit kartu kredit sudah menjalankan peraturan sesuai yang tercantum dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia).
"Jadi, saya rasa bisa dilaporkan ke regulator. Ini tidak diperbolehkan," tegas dia.
Menurut data BI, hingga Februari 2020, nilai transaksi kartu kredit mencapai Rp25,87 triliun, dengan volume transaksi mencapai 27 juta. Volume ini naik 3,52 persen secara tahunan. "NPL (rasio kredit macet) di atas 2 persen, masih stabil," ungkapnya.
Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.