Perseteruan Risma dan Khofifah di Tengah Zona Merah Corona (Bagian 1)

Perseteruan Risma dan Khofifah di Tengah Zona Merah Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Penanganan COVID-19 di Jawa Timur diwarnai saling silang pendapat antara Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Hal ini telah terjadi sejak awal pandemi merebak, dan semakin disorot masyarakat seiring dengan makin meningkatnya kasus baru di daerah tersebut.

Perseteruan yang pertama terpantau dipicu oleh rencana Pemkot Surabaya yang hendak membatasi mobilitas kendaraan yang masuk dari luar daerah. Dengan kata lain, semacam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Saat itu Khofifah mengingatkan Risma kalau ia tidak berkoordinasi dengan provinsi dan PSBB itu semestinya lewat kantor gubernur. Surabaya belum menerapkan PSBB.

Cekcok antara pemkot dan pemprov juga mengemuka saat muncul klaster pabrik rokok PT HM Sampoerna. Saat itu Khofifah bilang pemkot lambat melapor sehingga peyebaran virus dari klaster itu meluas.

Keduanya juga pernah berseteru soal pasien rumah sakit di Surabaya. Risma mengatakan rumah sakit di wilayahnya dipenuhi pasien COVID-19 dari luar daerah. Menurutnya ini tidak patut. Khofifah membalas kalau menurut etika kedokteran, rumah sakit dan dokter dilarang membeda-bedakan pasien.

Puncaknya adalah ketika Risma mengungkapkan kekesalannya lantaran dua mobil laboratorium dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang sedianya diperbantukan khusus untuk Surabaya, ternyata dialihkan ke daerah lain oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Jatim.

"Teman-teman lihat sendiri, kan, ini bukti permohonan saya dengan Pak Doni (Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo). Jadi ini saya sendiri yang memohon kepada beliau. Kasihan pasien-pasien yang sudah menunggu," kata Risma sambil menunjukkan obrolannya di Whatsapp dengan Doni di Balai Kota Surabaya.

Mobil PCR tersebut salah satunya dialihkan ke Kabupaten Tulungagung.

Pada 31 Mei, Khofifah kemudian menjawab kenapa mobil tersebut tak ditempatkan di Surabaya. “Tulungagung itu [jumlah] PDP terbesar kedua setelah Surabaya […] dan PDP meninggal tertinggi itu di Tulungagung,” kata dia melalui siaran pers resmi.

Lagi pula, katanya, di Surabaya telah ada tujuh laboratorium yang kapasitasnya cukup besar untuk melakukan tes PCR. Di Tulungagung itu menurutnya banyak Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang keburu meninggal tanpa sempat tes PCR atau swab.

Silang pendapat berlanjut saat pembahasan status PSBB Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo). PSBB Surabaya Raya diajukan oleh Khofifah kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada akhir April. Setelah berlangsung tiga gelombang (28 April-11 Mei, 12 Mei-25 Mei, dan 26 Mei-8 Juni 2020), Risma lantas meminta Khofifah tidak memperpanjangnya pada 7 Juni lalu.

Risma mengatakan, salah satu alasan kenapa PSBB tidak boleh dilanjutkan adalah ekonomi warga semakin buruk. “Mudah-mudahan usulan saya diterima. Kita tidak lakukan itu (perpanjangan PSBB), tapi protokol kesehatannya harus diperketat," kata Risma.

Khofifah memang memutuskan PSBB di sana dihentikan dan menerapkan masa transisi menuju new normal mulai 9 Juni 2020 selama 14 hari. Namun ia menegaskan konsekuensi dari itu adalah “tanggung jawab dalam menangani bencana ada di pemkab/pemkot.”

Epidemiolog sekalius Ketua Tim Surveilans COVID-19 Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan usulan Risma—termasuk pimpinan daerah di Surabaya Raya lain—yang ingin segera mengakhiri PSBB, tak ada pijakan ilmiahnya. “Itu politis,” kata Windhu.

Baca lanjutannya: Perseteruan Risma dan Khofifah di Tengah Zona Merah Corona (Bagian 2)

Related

News 1581486287285825006

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item