Diperangi Erdogan, Tak Diakui di Suriah, Siapa Sesungguhnya Bangsa Kurdi? (Bagian 2)

Diperangi Erdogan, Tak Diakui di Suriah, Siapa Sesungguhnya Bangsa Kurdi? naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Diperangi Erdogan, Tak Diakui di Suriah, Siapa Sesungguhnya Bangsa Kurdi? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pemerintah Turki lalu melancarkan serangan yang mereka sebut "perang terpadu melawan teror" menghadapi PKK dan ISIS. Sejak itu, ribuan orang tewas dalam konflik di Turki tenggara, termasuk di antaranya ratusan orang sipil.

Agustus 2016 Turki mengirim tank ke Suriah utara untuk mendukung pemberontak Suriah melawan ISIS. Di saat yang sama mereka menghalangi pasukan Kurdi YPG dan SDF dari menguasai wilayah Jarablus, agar tak terhubung dengan wilayah Afrin yang sudah dikuasai Kurdi.

Tahun 2018, pasukan Turki dan pemberontah Suriah menyerang Afrin dan mengusir pasukan YPG dari sana. Pemerintah Turki menyebut YPG adalah kepanjangan PKK dan menganggap mereka organisasi teroris yang harus dimusnahkan.

Apa yang diinginkan orang Kurdi di Suriah?

Etnik Kurdi merupakan 7% - 10% dari keseluruhan populasi Suriah. Mereka tinggal di Damaskus dan Aleppo serta tiga wilayah yang berdekatan: Kobane, Afrin dan Qamishli.

Mereka telah lama ditekan dan tak diberi hak-hak sipil. Sekitar 300.000 orang tak diakui kewarganegaraannya sejak tahun 1960-an, dan tanah orang Kurdi dirampas dan diberikan kepada orang Arab dalam upaya untuk "meng-Arab-kan" wilayah-wilayah Kurdi.

Ketika penentangan terhadap Presiden Assad berubah menjadi perang, partai politik Kurdi di Suriah secara terbuka menolak berpihak. Tahun 2012, pemerintah berkonsentrasi menghadapi pemberontakan, dan kelompok Kurdi menggunakan kesempatan ini untuk bangkit.

Bulan Januari 2014, partai-partai politik Kurdi - termasuk partai Democratic Union Party (PYD) yang dominan - mendeklarasikan pembentukan "administrasi otonom" di tiga wilayah di Afrin, Kobane dan Jazira.

Maret 2016, mereka mengumumkan pembentukan "sistem federal" yang meliputi area Arab dan Turki yang berhasil diambil alih dari ISIS. Deklarasi ini ditolak oleh pemerintah Suriah, pemberontak Suriah, Turki dan AS.

PYD mengatakan tidak berupaya mencapai kemerdekaan Kurdi tetapi mereka berkeras segala bentuk penyelesaian politik di Suriah harus memasukkan jaminan hukum bagi hak-hak orang Kurdi serta pengakuan otonomi mereka.

Presiden Assad bertekad akan menguasai kembali "setiap jengkal" wilayah Suriah dan menolak tuntutan Kurdi untuk otonomi, maupun adanya bentuk federal.

Apakah suku Kurdi di Irak akan meraih kemerdekaan?

Kurdi di Irak merupakan 15% - 20% dari keseluruhan populasi. Secara historis mereka lebih menikmati hak mereka, tetapi juga menghadapi tekanan yang brutal.

Tahun 1946, Mustafa Barzani membentuk Kurdistan Democratic Party (KDP) yang mengupayakan otonomi di Irak, dan tahun 1961 ia memulai perjuangan bersenjata untuk itu.

Akhir 1970-an pemerintah Irak mulai menempatkan orang Arab di wilayah mayoritas Kurdi - seraya memindahkan paksa orang Kurdi - terutama di kota Kirkuk yang kaya minyak.

Kebijakan ini meningkat di tahun 1980-an ketika terjadi perang Iran-Irak, dan orang Kurdi mendukung Iran. Tahun 1988, Saddam Hussein melancarkan serangan balasan kepada orang Kurdi, termasuk serangan senjata kimia di Halabja.

Ketika Irak kalah dalam Perang Teluk tahun 1991, perlawanan Kurdi dilakukan oleh Patriotic Union of Kurdistan (PUK) yang dipimpin oleh Jalal Talabani dan Massoud Barzani - anak Mustafa Barzani.

AS sempat melakukan zona larangan terbang ketika perlawanan PUK ditindak dengan keras. Etnik Kurdi pun sempat menikmati pemerintahan sendiri di sana ketika itu. KDP dan PUK berbagi kekuasaan, hingga ketegangan dan perang kemudian terjadi antara mereka di tahun 1994.

Namun mereka bekerja sama dengan invasi Amerika tahun 2003 yang menjatuhkan Saddam Hussein. Bersama, mereka kemudian membentuk koalisi Kurdistan Regional Government (KRG), yang memerintah di Provinsi Dohuk, Irbil dan Sulaimaniya.

Massoud Barzani menjadi presiden setempat, sementara Jalal Talabani menjadi kepala negara non-Arab pertama di Irak.

September 2017 referendum kemerdekaan diadakan di Wilayah Kurdistan dan di wilayah yang dikuasai Peshmerga tahun 2014, termasuk Kirkuk. Referendum ini ditentang dan dianggap ilegal oleh pemerintah pusat Irak.

Dari hasil referendum, lebih dari 90% suara mendukung pemisahan diri. Pejabat KRG mengatakan hasil ini memberi mereka mandat untuk negosiasi dengan Baghdad, tapi ini ditolak Perdana Menter Iran Haider al-Abadi.

Sebulan kemudian pasukan pemerintah Irak mengambil alih wilayah yang dikuasai Kurdi, termasuk Kirkuk yang kaya minyak. Kehilangan sumber pemasukan minyak ini menyurutkan aspirasi Kurdi akan pemerintahan sendiri.

Related

News 7524802537810683950

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item