Fakta di Balik Orang-orang yang Percaya Teori Konspirasi Virus Corona (Bagian 1)

Fakta di Balik Orang-orang yang Percaya Teori Konspirasi Virus Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Kasus virus corona di Indonesia dan dunia terus meningkat tiap hari. Namun, tidak semua orang sepakat bahwa pandemi ini benar-benar ada dan berbahaya.

Meski para ilmuwan sepakat soal bahaya dan betapa menularnya virus penyebab COVID-19 itu, ada sekelompok orang yang menyangkal fakta tersebut. Bagi mereka, virus corona bisa jadi tidak ada atau tidak seberbahaya yang disampaikan ilmuwan. Atau kalaupun ada, virus itu hanya konspirasi elit global untuk menebar ketakutan.

Fenomena ini pada awalnya bisa kita lihat melalui Jerinx. Beberapa pekan terakhir, narasi yang sama juga diikuti oleh Anji. Kedua orang tersebut adalah musisi yang bersuara meremehkan virus corona, bernarasi virus itu tidak begitu mengerikan, meski masing-masing pihak tidak memiliki rekam jejak sebagai ahli epidemiologi dan virologi.

Di sisi lain, ada lebih dari 16,4 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus corona SARS-CoV-2. Di antara mereka, sebanyak 653.322 orang meninggal. Di Indonesia sendiri, kasus virus corona telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus dengan catatan 4.838 pasien COVID-19 meninggal.

Catatan ini pun bisa jadi tidak merepresentasi jumlah aktualnya, karena Indonesia punya tingkat tes yang rendah, hanya 5.096 tes per 1 juta penduduk. 

Menurut Ketua Satgas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanganan COVID-19, Annelia Sani Sari, penyangkalan terhadap bahaya virus corona disebabkan oleh sikap tidak peduli (ignorant) seseorang atas pandemi yang ada di depan mata.

Meski informasi valid mengenai bahaya virus corona tersedia secara luas, sikap tidak peduli menjadikan mereka tidak terinformasi (un-informed).

”Ini kembali juga kepada ciri pribadi orang tersebut yang kita sebut ignorant, ketidakpedulian,” kata Annelia. ”Orang-orang ignorant ini umumnya tidak termotivasi untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dan informasi yang valid.”

Annelia menambahkan, sikap tidak peduli itu tidak memandang status pendidikan seseorang. Kata dia, orang yang berpendidikan juga bisa terperangkap dengan hoaks dan penyangkalan virus corona karena dia tidak berminat mencari tahu informasi faktual yang benar.

Senada dengan Annelia, Meredith Matson, seorang profesor psikologi di Horry-Georgetown Technical College, juga menyebut bahwa ketidakseriusan seseorang dalam menghadapi virus corona disebabkan oleh kelelahan belas kasih (compassion fatigue).

Matson mengatakan, kelelahan belas kasih adalah kondisi ketika orang bosan peduli tentang sesuatu. Dalam hal ini, orang bisa jadi penat mengikuti pedoman kesehatan yang dibuat oleh para ahli epidemiologi, yang sebenarnya pedoman itu bisa mencegah diri sendiri dan orang lain terinfeksi virus corona.

"Harus memikirkan, 'Apakah saya punya masker wajah? Apakah saya membersihkan tangan? Haruskah saya membersihkan bahan makanan sekarang atau tidak?' Itu benar-benar luar biasa dan orang-orang kelelahan karenanya,” kata Matson kepada ABC News.

Ketakutan bikin orang jadi 'buta'

Tak hanya sikap tidak peduli, Annelia juga menyebut bahwa salah satu faktor orang menyangkal bahaya virus corona dan menganggapnya sebagai konspirasi adalah karena mereka takut. 

Ketakutan tersebut menjadikan mereka ’buta’ untuk melihat setiap fakta dari bahaya virus corona, hingga menjadikan mereka tidak berpikir secara rasional.

“Orang yang percaya konspirasi sesungguhnya adalah orang yang ketakutan,” kata Annelia Sani Sari, Ketua Satgas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanganan COVID-19.

Untuk mencapai kesimpulan itu, Annelia menjelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam otak manusia ketika kita mengambil keputusan dari informasi yang kita dapat. Ketiga tahapan tersebut terdiri dari tahapan primitif, emosional, dan rasional.

Tahap primitif lebih dikenal sebagai fight or flight response, yang merupakan cara berpikir cepat untuk mengambil keputusan segera. Dalam hal ini, ketika informasi yang kita dapat tidak begitu mengancam kita, umumnya kita akan menerimanya begitu saja.

Setelah melalui tahap primitif, informasi yang kita dapat itu akan disaring di fase emosional. Ketika informasi itu tidak mengancam emosi kita, kata Annelia, maka informasi tersebut akan masuk ke tahap berikutnya, yakni fase rasional.

Baca lanjutannya: Fakta di Balik Orang-orang yang Percaya Teori Konspirasi Virus Corona (Bagian 2)

Related

Science 1770296180991639516

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item