Mengenal Sosok Penulis Rubrik ‘Nah Ini Dia’ di Harian Pos Kota (Bagian 2)

Mengenal Sosok Penulis Rubrik ‘Nah Ini Dia’ di Harian Pos Kota, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal Sosok Penulis Rubrik ‘Nah Ini Dia’ di Harian Pos Kota - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kenapa memilih gaya tulisan kocak untuk Nah Ini Dia? 

Karena Pos Kota itu isinya berita kriminal kota, Nah Ini Dia untuk refreshing pembaca. Istilahnya menurunkan tensi pembaca. Idiom yang saya pakai juga tidak melulu Bahasa Jawa. Saya lihat setting kejadiannya. Kalau Tempat Kejadian Perkara-nya (TKP) daerah Sunda, saya tanya orang Sunda untuk referensi dialog ceritanya.

Apakah Nah Ini Dia pernah berganti konsep?

Awalnya Nah Ini Dia berisi berita-berita unik. Lalu saya coba memasukkan yang berbau-bau seks, eh ternyata responnya lebih banyak. Akhirnya saya bikin terus sampai berhasil pindah ke halaman satu di tahun 90-an. Dulu satu edisi isinya tiga cerita, akhirnya diubah jadi satu cerita tapi panjang.

Inspirasi menulis Nah Ini Dia dapat dari mana? 

Tiap hari pasti ada saja orang selingkuh di Indonesia. Jadi saya tidak pernah kekurangan bahan. Kadang-kadang kalau datanya miskin, saya coba analisa lagi. Misalnya, kalau perempuannya tua, laki-lakinya berondong, biasanya perkara ekonomi. Jadi saya olah seperti itu, saya bumbuin ceritanya.

Kenapa gambaran perempuan di Nah Ini Dia bisa begitu detail?

Tokoh cewek yang saya tulis biasanya punya betis bunting padi, putih bersih, dan rambutnya panjang. Itu inspirasinya perempuan bernama Fatimah. Dulu saya naksir dia semasa sekolah di PGA Jogja. Sampai sekarang kalau saya menulis tentang cewek cantik, selalu membayangkan dia.

Dulu tahun 1967-1968 ada banyak poster artis cantik di studio foto Corona Jogja, salah satunya penyanyi Aida Mustafa. Nah, postur Fatimah mendekati itu.

Isu apa saja yang biasa diselipkan Nah Ini Dia? 

Macam-macam, bisa lari ke politik atau ekonomi. Waktu reformasi, Amien Rais kan menjegal Megawati pakai istilah "Poros Tengah". Lalu saya bikin poros tengah itu artinya "barang (wanita) di tengah". Jadi kalau "urusan poros tengah", laki-laki bakal semangat. Saya yang waktu itu mempopulerkan istilah "urusan poros tengah".

Bagaimana Nah Ini Dia menghadapi UU Pornografi? 

Saya tahu diri, jadi membatasi. Adegan porno tidak saya gambarkan secara detail. Saya cuma tulis hubungan intim, tidak perlu sampai dijelaskan mendesah-desah atau berlendir. Kalau Bulan Puasa, Nah Ini Dia juga lebih  smooth, artinya tidak main seks dulu. Kontennya yang unik-unik saja. Baru nanti setelah bulan puasa ya nge-seks lagi.

Apa benar Nah Ini Dia diminati banyak pembaca? 

Poskota pernah survei pada tahun 90-an. Survei itu bilang, Poskota punya dua rubrik unggulan yang ratingnya tinggi: Nah Ini Dia dan Doyok. (Survei ini dilakukan oleh Litbang Grup Pos Kota pada tahun 1992).

Kenapa banyak yang suka Nah Ini Dia?

Soalnya berbau seks. Pak Harmoko pernah bilang, teori jurnalistik itu: Darah dan sperma. Makanya berita pembunuhan dan seks banyak pembacanya.

Ngomong-ngomong soal Harmoko, apakah ada perubahan gaya tulisan sebelum dan sesudah reformasi? 

Ada perubahan, kalau dulu tidak berani menyentuh Soeharto. Sekarang saya sering pakai istilah, "Senyum mesam-mesem kayak Pak Harto."

Pandangan Anda pribadi pada Orde Baru? 

Saya termasuk tidak suka Orde Baru karena kebebasan pers dikekang. Tahun 90-an, waktu saya jadi redaktur edisi Surabaya, ada artikel menulis: "Pak Harto pernah ke tempat keramat anu."

Tulisan itu lolos karena saya kurang teliti. Saat pemimpin redaksi lihat, dia langsung minta mesin cetak disetop. Padahal saat itu kita sudah cetak 50 ribu eksemplar koran.

Bagaimana respons keluarga dengan tulisan-tulisan Nah Ini Dia? 

Yang lucu anak saya, dia kuliah di Sastra Inggris, di salah satu bahan studinya pernah bahas soal Nah Ini Dia. Saat itu dalam batinnya dia bilang, "Ini tulisan bapak saya." Tapi dia tidak mau ngaku, malu. Anak dan istri saya memang tidak pernah baca karya bapaknya.

Kalau boleh berandai-andai, selain Bapak, siapa yang cocok menulis Nah Ini Dia? 

Mungkin Butet Kartaredjasa. Dia kan orangnya humoris.

Kalau Fadli Zon, apakah bisa menulis Nah Ini Dia? 

Ah, itu puisinya terus terang saja masih mentah. Kalau di Majalah Horison atau majalah Sastra tidak bakal dimuat. Masa anggota DPR kerjaannya malah bikin puisi.

Sampai kapan mau menulis Nah Ini Dia?

Sampai pembaca bosan sama saya.

Related

News 4719751881641888685

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item