Penelitian UNODC: Tiap Hari, Ada 137 Perempuan di Dunia yang Tewas karena KDRT

Penelitian UNODC: Tiap Hari, Ada 137 Perempuan yang Tewas karena KDRT naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Dari sekitar 87.000 kasus pembunuhan perempuan di seluruh dunia, 58 persen atau 50.000 perempuan merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau anggota keluarga mereka sendiri.

Jumlah itu setara dengan 137 perempuan tewas per hari atau hampir enam orang terbunuh setiap jam di rumah sendiri, oleh orang yang mereka kenal dan semestinya bisa dipercaya. Demikian ringkasan laporan dalam studi baru yang dihelat oleh entitas Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC).

Laporan berjudul Femicide Report 2018 ini tercakup dalam studi baru bertajuk Gender-related Killing of Women and Girls yang merupakan bagian dari studi global tentang pembunuhan.

Studi dirilis bertepatan dengan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan atau International Day for the Elimination of Violence Against Women, suatu kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender dan prevalensi globalnya.

Untuk penelitian, laporan UNODC menganalisis data-data pembunuhan perempuan yang terkait dengan kekerasan dan femicide, khususnya di ranah domestik.

Femicide merupakan istilah untuk pembunuhan perempuan terkait gender—karena mereka perempuan—yang dilakukan oleh laki-laki terdekat seperti suami, pacar, mantan pacar atau suami, atau anggota keluarga lainnya semisal ayah, paman, saudara, dan sebagainya.

Penyebab femicide beragam, tergantung pelaku dan motifnya. Di Indonesia, suami paling sering melakukan KDRT disertai pembunuhan; sedangkan kekerasan oleh pasangan intim yang tidak terikat contohnya menghindari tanggung jawab menghamili atau perkosaan berujung pembunuhan.

Selain itu, femicide oleh keluarga umumnya bermotif menyelamatkan kehormatan karena perempuan dianggap mempermalukan atau mencoreng nama baik. Misal, dibunuh akibat berhubungan seksual atau hamil luar nikah, diperkosa, atau di India, anak perempuan bisa dibunuh ayahnya jika menentang tradisi yang mengharuskan menikah dengan sesama orang India.

Lebih lanjut, laporan UNODC menemukan pembunuhan perempuan oleh pasangan intim atau keluarga mengalami peningkatan lebih dari 10 persen sejak 2012.

Secara global, tingkat tertinggi kasus femicide ditemukan di Afrika (3,1 pembunuhan per 100.000 perempuan) dan Amerika (1,6).

Di Asia, walaupun tingkat femicide-nya relatif rendah (0,9 pembunuhan per 100.000 perempuan), jumlah pembunuhan perempuan pada 2017 justru tertinggi dengan 20.000 kasus.

Laporan tersebut juga menemukan, meskipun ada lebih banyak korban pembunuhan laki-laki dibanding perempuan di seluruh dunia—kebanyakan dilakukan orang asing, perempuan jauh lebih mungkin meninggal akibat kekerasan domestik daripada laki-laki.

Berdasarkan penelitian, 82 persen perempuan dibunuh oleh pasangan intimnya saat ini atau mantan, dan cuma 18 persen korban laki-laki. Lebih dari 30.000 kematian akibat KDRT.

Sementara itu, pada kasus pembunuhan yang turut melibatkan anggota keluarga, 64 persen korban adalah perempuan dan 36 persen adalah laki-laki.

Mirisnya lagi, menurut laporan UNODC, kekerasan terhadap perempuan hampir secara universal tidak dilaporkan kepada pihak berwenang.

Penyebab keengganan ini beraneka ragam. Di antaranya ketakutan akan pembalasan, ketergantungan ekonomi dan psikologis, hinga antisipasi ketidakpercayaan andai polisi tidak menganggap serius tuduhan atau melihat bentuk serangan sebagai masalah pribadi.

Para ahli menilai pembunuhan perempuan bermotif femicide ini sangat tidak proporsional dan terlampau kejam.

“Perempuan tetap membayar harga tertinggi sebagai akibat dari ketidaksetaraan gender, diskriminasi dan stereotip negatif.,” kata Direktur Eksekutif UNODC, Yury Fedotov kepada AFP.

Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan pada tingkat yang lebih tinggi ketimbang lelaki ini mengindikasikan “ketidakseimbangan dalam hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam lingkup domestik."

Jean-Luc Lemahieu, direktur analisis kebijakan dan informasi publik UNODC, mengatakan bahwa pembunuhan domestik adalah akhir tragis dari siklus pelecehan dan kekerasan.

“Ketika seorang perempuan kehilangan hidupnya, itu bukan tanpa prediksi—Anda melihat insiden bentuk kekerasan verbal dan lainnya. Polanya sudah terbentuk jauh sebelum pembunuhan,” jelasnya kepada Washington Post, seraya menekankan bahwa kematian semacam ini harusnya bisa dicegah.

Lanjut Lemahieu, “Kita perlu memperbaiki sistem peradilan sehingga perempuan merasa nyaman melapor, bahwa mereka didengar dan ada implikasi untuk pelaku.”

Sependapat, Kiersten Stewart, direktur kebijakan publik dan advokasi untuk kelompok anti-kekerasan Futures without Violence, menambahkan bahwa upaya perbaikan sistem peradilan tentu bervariasi tergantung pada tantangan di masing-masing negara.

Ia mencontohkan bahwa di AS, tantangan terbesar adalah kepemilikan senjata. Satu studi mengungkap bahwa kehadiran senjata membuat perempuan 5 kali lebih mungkin mati ditembak akibat KDRT.

"Kenyataannya kekerasan domestik adalah tentang kekuasaan dan kontrol, tetapi ada hal-hal yang dapat melindungi seperti membatasi akses ke senjata api dan menerapkan layanan kesehatan mental," tutur Rachel Goldsmith, wakil presiden pusat kekerasan domestik di Safe Horizon.

Intinya, sambung Stewart, perbaikan apa pun akan membutuhkan penanggulangan akar penyebab kekerasan. Terutama memperbaiki ketidaksetaraan gender dan norma sosial yang sudah berlangsung lama.

"Inti dari mengakhiri kekerasan itu mengubah perilaku laki-laki. Itulah tantangan yang telah mendorong begitu banyak lelaki muda melakukan kekerasan dan berpikir itu bagian dari menjadi seorang laki-laki," pungkas Stewart.

Related

World's Fact 4628218367877020216

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item