Utang Luar Negeri BUMN Terus Melonjak, Ini Penjelasan Bank Indonesia

Utang Luar Negeri BUMN Terus Melonjak, Ini Penjelasan Bank Indonesia, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Utang Luar Negeri atau ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI pada Mei lalu naik dobel digit dan lebih tinggi dibanding posisinya pada April.

ULN BUMN pada Mei naik 19% (yoy) dan lebih tinggi dibanding posisi April yang hanya naik 16% (yoy). ULN BUMN menyumbang 30% dari ULN swasta dalam negeri. Ketika ULN swasta hanya tumbuh 6,6% (yoy) bulan Mei, ULN BUMN justru melesat hingga nyaris 20%.

ULN BUMN non lembaga keuangan meningkat paling pesat hingga 25,5% dari tahun lalu. Jika mengacu pada Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) BI, tren ini memang sejalan dengan ULN perusahaan non keuangan secara umumnya.

Namun ULN untuk perusahaan non keuangan BUMN masih jauh lebih tinggi pertumbuhannya dibanding ULN swasta non keuangan secara total. Hal tersebut disampaikan BI dalam laporan SULNI bulan Mei.

"ULN perusahaan bukan lembaga keuangan meningkat sebesar 8,9% (yoy), di tengah kontraksi ULN lembaga keuangan sebesar 0,8% (yoy)." tulis BI.

"Beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,3% dari total ULN swasta, adalah sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pertambangan & penggalian, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas & udara dingin (LGA), dan sektor industri pengolahan." lanjut BI.

Perkara membengkaknya utang baik pemerintah maupun korporasi di kala pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) secara global sebenarnya sudah banyak diperkirakan.

Saat pandemi terjadi mobilitas menjadi terbatas. Pendapatan korporasi menjadi turun dan laba tergerus. Arus kas menjadi terganggu, padahal untuk menghadapi pandemi perusahaan butuh likuiditas tinggi untuk tetap bertahan.

Untuk mencapainya perusahaan mulai melakukan efisiensi dari pemangkasan karyawan hingga belanja modal. Namun tetap saja banyak perusahaan yang masih kesusahan likuiditas.

Kebijakan bank sentral global yang ultra akomodatif melalui pemangkasan agresif suku bunga acuan hingga pembelian aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah hingga korporasi yang dilakukan The Fed dan ECB membuat 'ongkos meminjam' menjadi lebih murah dan mendorong korporasi untuk mengambil kredit. Ini menjadi fenomena global.

Di Indonesia sendiri lockdown yang diterapkan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak seketat yang diterapkan di negara lain. Namun dampak ke perekonomian dan korporasi jelas terasa.

Sektor-sektor yang paling terdampak dari pembatasan mobilitas adalah pariwisata, transportasi dan perhotelan. Namun seiring dengan makin merebaknya wabah, semua sektor pun terdampak.

Jika berkaca pada laporan keuangan kuartal pertama tahun ini, maka sektor perdagangan, properti hingga pertambangan membukukan kinerja keuangan yang mengecewakan.

Fokus pemerintah saat ini adalah penanganan wabah sehingga proyek-proyek strategis nasional seperti infrastruktur menjadi kurang mendapat fokus. Alhasil kinerja keuangan BUMN karya yang banyak menggarap proyek strategis tersebut terancam turun. Apalagi BUMN Karya terkenal dengan tingkat utang yang tinggi.

Saat wabah Covid-19 belum begitu merebak saja, kinerja keuangan duo emiten BUMN karya yakni PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) sudah anjlok signifikan.

Pada kuartal pertama WIKA mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih masing-masing sebesar -35,4% (yoy) dan -65,9% (yoy). Pada saat yang sama WSKT bahkan membukukan kinerja keuangan yang lebih parah lagi dengan penurunan pendapatan dan laba bersih masing-masing sebesar -51,9% (yoy) dan -94,1% (yoy).

Realita pahit harus diterima oleh duo BUMN karya tersebut yang juga tingkat utangnya tergolong tinggi. Kinerja keuangan yang memburuk serta prospek ke depan yang terancam membuat lembaga pemeringkat utang global Moody's memangkas rating WIKA dan Fitch memangkas rating utang WSKT.

Moody's menurunkan rating WIKA dari Ba3 menjadi Ba2 dan menurunkan pandangankedepan perusahaan ini dari stabil menjadi negatif. Fitch Ratings memangkas peringkat surat utang jangka panjang emiten konstruksi BUMN, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dari sebelumnya A-(idn) menjadi BBB (idn).

Moody's tak hanya memangkas rating utang WIKA saja tetapi juga dua BUMN lain yaitu PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II).

Moody's juga menurunkan rating Jasa Marga dari Baa2 menjadi Baa3 dan outlook perusahaan tetap negatif. Outlook negatif yang diberikan Moody's juga dikarenakan oleh resiko kredit yang terus menghantui Jasa Marga dampak dari merebaknya virus corona.

Moody's berekspektasi terjadinya kontraksi di tingkat lalu lintas terutama di tol milik Jasa Marga akan menurunkan tingkat arus kas JSMR pada tahun 2020. Hal ini sudah tampak dari pendapatan JSMR yang turun -45,3% (yoy) pada kuartal I-2020.

Tak ketinggalan Moody's juga menurunkan rating PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dari Baa2 menjadi Baa3, akan tetapi menurut Moody's outlook perusahaan ini tetaplah stabil kedepanya.

Menurut Moody's sektor pelabuhan juga terkena efek kejut virus corona, dimana total volum kargo yang dikirim dan diterima turun karena tingkat perdagangan global juga turun akibat terkontraksinya kondisi makro ekonomi global.

Terlepas dari pemangkasan credit rating itu, tak bisa dipungkiri masalah kompleks memang membelit BUMN RI. Masalah utang juga dirasakan oleh emiten baja Tanah Air PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang pada akhirnya harus melakukan restrukturisasi utang terbesar di Indonesia dengan nilai US$ 2,2 miliar.

Beberapa BUMN lain yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya seperti Perumnas yang sempat tak mampu memenuhi kewajibannya membayar MTN senilai Rp 200 miliar akhir April lalu.

Kemudian ada lagi perusahaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang kesusahaan membayar SUKUK Global senilai US$ 500 juta mengingat hanya memiliki kas senilai US$ 299 juta hingga akhir tahun lalu.

Banyaknya BUMN yang terlilit utang serta ruang fiskal yang terbatas membuat pemerintah akan lebih selektif dalam memilih BUMN mana yang akan diselamatkan (bailout) ketika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Faktor ini lah yang memicu Moody's memangkas rating beberapa BUMN.

Dalam lima tahun periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, ambisi pembangunan infrastruktur yang masif dengan melibatkan BUMN banyak yang dibiayai dengan utang.

Jika mengacu pada neraca, tingkat net debt to EBITDA BUMN RI terus tumbuh. Pada 2019 saja posisinya sudah mencapai lebih dari 4x. Artinya leverage yang digunakan sudah tergolong sangat tinggi.

Jelas ini merupakan masalah yang sangat serius. Hal yang ditakutkan adalah ketika masalah likuiditas BUMN berubah menjadi masalah solvabilitas.

Related

News 9015011608688948082

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item