Gugatan RCTI soal Live Medsos Disebut Melawan Digitalisasi
https://www.naviri.org/2020/08/gugatan-rcti-soal-live-medsos-disebut.html
Naviri Magazine - RCTI dan iNews mengajukan gugatan uji materi UU Penyiaran ke MK. Gugatan dilayangkan karena menilai ada perbedaan perlakuan terhadap Netflix dan YouTube dengan televisi konvensional dalam UU Penyiaran.
Dalam gugatannya, kedua stasiun televisi swasta itu meminta agar setiap penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti Youtube hingga Netflix tetap tunduk pada UU Penyiaran.
Atas dasar itu, mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran karena ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.
Bunyi pasal 1 ayat 2 menyebut penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Kominfo menyebut apabila permohonan pengujian UU Penyiaran dikabulkan, masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial (medsos) karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.
Direktur eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto menuturkan gugatan yang diajukan RCTI dan iNews bukan hanya mempersoalkan tentang kemampuan teknologi internet untuk melakukan live streaming sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
Damar mengatakan gugatan itu sejatinya tidak lebih dari upaya persaingan usaha belaka. Dia melihat kontestasi antara industri penyiaran yang sudah lebih dulu mapan dengan industri internet yang baru tumbuh belakangan ini.
"Gugatan ini mencerminkan ketika kepentingan usaha para kapitalis industri penyiaran terganggu, mereka berupaya mengubah hukum dengan dalih untuk pengaturan penyiaran yang lebih baik, bukan atas dasar pengaturan hukum yang lebih baik, setara bagi semua pihak, dan berkeadilan," ujar Damar.
Damar menuturkan pemohon tidak memikirkan dampak pada hukum, sosial, budaya ketika mendorong revisi pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
Lebih lanjut, Damar berkata pemohon seharusnya memikirkan strategi untuk melawan perkembangan digital. Misalnya, dia menyebut definisi televisi perlu diubah agar menyesuaikan konteks di zaman sekarang. Sebab, televisi saat ini telah ditinggalkan penonton karena tidak menemukan pembaruan dalam televisi.
"Jangan kemudian menyalahkan digitalnya atau memakai dalih soal banyaknya konten 'buruk' di internet, seolah-olah di televisi kontennya sudah bagus," ujarnya.
Damar menambahkan masyarakat sudah pandai untuk menilai bahwa ada masalah dalam kualitas isi siaran televisi di Indonesia. Sehingga, internet digemari karena menyajikan kualitas informasi yang lebih bagus.
Pengamat media sosial Eddy Yansen menyatakan upaya memperluas definisi penyiaran dengan digital live mengancam kebebasan demokrasi informasi. Pasalnya, dia menyebut tidak serta merta seseorang bisa mengakses tayangan-tayangan tersebut layaknya penyiaran umum seperti televisi atau radio.
"Perlu dipahami informasi live berbentuk video audio ini berada tidak langsung pada akses publik, melainkan berada di dalam sebuah aplikasi atau kanal tertentu, misalnya Youtube, Facebook, dan lain-lain," ujar Eddy kepada CNNIndonesia.com.
Oleh karena itu, Eddy menilai upaya filtrasi konten merupakan tanggung jawab perusahaan. Misalnya, Youtube dan FB memiliki kebijakan internal perusahaan yang mengatur konten yang boleh atau tidak boleh tayang.
"Misalnya pornografi yang di live kan di FB live otomatis akan keblokir. Dan contoh-contoh lainnya," ujarnya.
Lebih dari itu, Eddy mengimbau semua pihak untuk lebih kritis terhadap kebijakan perusahaan dalam mengelola konten. Apakah kebijakan yang ada selama ini sudah sesuai dengan konstitusi, norma dan kebutuhan bangsa Indonesia.
"Dalam hal ini kita bisa melihat negara-negara lain juga sedang berjuang bagaimana meregulasi aturan-aturan yang ada terhadap perusahaan-perusahaan swasta ini," ujar Eddy.