Mengapa Ada Orang-orang yang Tak Rela Jenazah Keluarganya Dimakamkan dengan Protokol Covid-19?
https://www.naviri.org/2020/08/mengapa-ada-orang-orang-yang-tak-rela.html
Naviri Magazine - Kematian dan Pandemi virus Corona (Covid-19) ibarat dua sisi mata uang; suatu fenomena biologis sekaligus fenomena budaya.
Kondisi pandemik memunculkan prosedur-prosedur baru dalam menghadapi kematian. Kebaruan itu banyak dipengaruhi oleh pertimbangan sains dan institusi kesehatan publik dalam mengatasi sebaran wabah.
Namun, sebagaimana institusi dan prosedur kesehatan modern lainnya, serangkaian penanganan tersebut acapkali terputus dari realitas kultural yang amat beragam.
Terdapat kesenjangan antara tujuan saintifik penanganan epidemi dengan praktik budaya dalam menghadapi sakit atau kematian yang kerap berbasis kepercayaan dan keagamaan. Tidak terkecuali dalam prosesi pemakaman
Hampir setiap pekan dalam beberapa bulan terakhir, kita mendengarkan cerita pilu keluarga yang sedih. Tak sedikit pula berita soal kegeraman pihak keluarga menolak protokol pemakaman Covid-19.
Seolah mereka tak peduli lagi soal 'hantu' penularan Covid-19 yang dalam senyap menyebar tanpa diketahui.
Berita di sejumlah media menyebutkan bahwa tindakan tersebut berkaitan dengan perubahan tata prosesi pemakaman yang sekarang menjadi di luar kelaziman.
Sebut saja, di antaranya, pemandian jenazah tidak dilakukan lagi dengan air, pembatasan jumlah orang yang berpartisipasi dalam pemulasaraan, hingga jenazah yang muslim harus menggunakan peti dalam proses penguburan.
Permasalahan ini memang tidak sederhana. Memakamkan keluarga dan kerabat adalah peristiwa paling penting dalam daur hidup manusia hampir di seluruh kebudayaan.
Prosesi tersebut diyakini penting bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada semacam keyakinan kuat bahwa almarhum harus pergi secara baik dari kehidupan sebelumnya.
Tak sampai di situ. Pemakaman juga amat erat dengan nilai-nilai masyarakat. Dalam suatu ritual daur hiduplah nilai-nilai berusaha diwujudkan oleh masyarakat dan paling bisa dirasakan secara indrawi.
Nilai yang bisa jadi selalu kita lihat sebagai abstrak dan normatif akan menemukan wujudnya dalam ritual-ritual penting. Ritual, selain sosok suri tauladan dalam orang suci, adalah eksemplar dari nilai.
Kita ambil ilustrasi dalam pemakaman muslim di Indonesia. Memandikan jenazah dan juga memakamkan tanpa peti mengisyaratkan proses pelepasan seseorang dengan konteks mensucikan.
Jenazah haruslah disucikan. Selain itu, pelepasan kematian seseorang terutama di masa krisis selalu berkaitan dengan bekal spiritual yang harus dibawa oleh seseorang yang meninggal. Ini biasanya dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan.
Ketidakmampuan memenuhi prosesi ini akan membebani moral keluarga yang ditinggalkan. Meninggal dengan kondisi suci dan didampingi oleh keluarga, serta didukung oleh kelompok sosial tempat almarhum hidup adalah krusial.
Perlu diketahui bahwa tata pemakaman bukanlah sekedar ajaran keagamaan di tingkat pengetahuan, akan tetapi pengetahuan yang membatin.
Ia didorong oleh kecenderungan psikokultural. Siapa yang tidak sedih apabila sanak saudara, anak, atau orang tuanya harus dimakamkan dengan tata cara yang 'dingin' dan sepi oleh orang-orang yang dirasa asing dalam kehidupannya?
Kematian yang baik
Tim penelitian Antropologi dari London School of Economy telah meneliti secara khusus ihwal gejala-gejala kultural di atas dan merekomendasikan beberapa hal yang bisa kita adopsi dan sesuaikan di Indonesia.
Hasil penelitian mereka menyebutkan hampir di seluruh komunitas, 'kematian yang baik' (good death) merupakan satu hal yang penting dalam mengatasi trauma dan rasa kehilangan akibat Covid-19.
Bagaimana itu dilakukan?
Tim tersebut menyebutkan pentingnya agar pasien Covid-19 di saat-saat terakhirnya didampingi dengan orang-orang dekat. Bisa dekat secara batiniah maupun orang yang bisa memberikan dukungan spiritual atau religius.
Di Inggris, persoalan psikis yang muncul dari menghadapi kematian Covid-19 adalah ketakutan bahwa sanak famili atau pasangan akan meninggal sendirian di rumah sakit.
Jika memungkinkan dalam protokol kesehatan, memberikan ruang terhadap tokoh keagamaan, sukarelawan, atau sanak famili dalam proses kematian akan membantu mengatasi kecemasan dan trauma yang diperoleh dari rasa kehilangan.
Studi dan rekomendasi tim Antropologi LSE memberikan pesan yang jelas. Penanganan problem pelaksanaan pemakaman protokol Covid-19 tidak pernah cukup hanya dengan pengeluaran aturan kebijakan di gugus tugas, telegram Kapolri, maupun fatwa yang dikeluarkan MUI.
Terlebih jika semua itu hanya kian menguatkan protokol yang impersonal dan menghilangkan dimensi ritual yang utama dari pemakaman di tiap kelompok keagamaan.
Penanganan problem penolakan protokol pemakaman Covid-19 memerlukan strategi kultural keagamaan yang melibatkan ragam institusi keagamaan dari level nasional hingga level desa atau kelurahan. Pendekatan itu untuk menyiasati terjaganya pertalian sosial dalam proses kematian dan terselenggaranya inti ritual dari tiap tradisi keagamaan.
Pemerintah melalui gugus tugas, perlu melibatkan institusi keagamaan agar secara kreatif dan rutin menerjemahkan penjelasan risiko besar penularan melalui pemakaman tanpa protokol dan memberikan penyesuaian keagamaan dalam perubahan tata pemakaman. Bagian terakhirlah pekerjaan rumah yang memang tidak mudah.
Jika kita terus gagap dalam menangani ini, mungkin kita harus berintrospeksi dan berpikir lebih jauh. Mengapa negara dan organisasi keagamaan tampaknya masih tertatih-tatih untuk bersiap diri dan lincah dalam menghadapi realitas-realitas baru yang bisa jadi akan dihadapi dalam wujud krisis besar?
Ingat, selain pandemi, krisis-krisis seperti krisis iklim, bencana alam, dan tentu epidemi lain bisa jadi sedang berjalan tanpa kita sadari dan tengah mendalam dampak-dampaknya dalam kehidupan kita.
Persoalan 'kematian yang baik' di tengah suasana ketergesaan dan suasana darurat harus kita antisipasi. Kuncinya pada menemukan penanganan pandemi berbasis sains yang tetap peka dengan problem kultural keagamaan yang amat beragam.