Mengapa Generasi Milenial Kesulitan Beli Rumah? Ini Penjelasan Ahli

Mengapa Generasi Milenial Kesulitan Beli Rumah? Ini Penjelasan Ahli, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Masalah kepemilikan rumah kelompok milenial memang jadi topik pembahasan yang seksi beberapa waktu belakangan. Golongan milenial tak memungkiri bahwa keinginan punya rumah merupakan tantangan tersendiri, yang seringkali bikin kepala pusing tujuh keliling.

Untuk milenial yang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, kondisinya jauh lebih pelik lagi. Mereka dihadapkan dengan problematika riil seperti gaji yang tak tinggi maupun harga rumah yang tak bersahabat.

Untuk kasus Ibu Kota, biaya hidup adalah faktor penyedot penghasilan tak sedikit. Bagi mereka yang masih single, rata-rata biaya hidupnya mencapai Rp7,9 juta tiap bulan, merujuk survei Lokadata.

Sedangkan yang sudah berkeluarga, dengan asumsi punya dua anak, biaya hidupnya bisa menyentuh Rp27 juta tiap bulan. Ini tentu profil keluarga kelas menengah, yang suami maupun istri sama-sama bekerja.

Tidak heran apabila jumlah milenial yang sanggup memiliki rumah di Jakarta di bawah angka nasional (50 persen), dan belum jelas berapa persen dari angka itu yang berhasil mendapatkannya selain lewat warisan ortu.

Alhasil, solusi yang dipilih yaitu mencari rumah sekaligus berebut dengan milenial lainnya di daerah pinggiran seperti Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, atau Bogor yang notabene jauh dari tempat kerja—walaupun ada fasilitas transportasi massal.

Jika alternatif itu masih dinilai memberatkan, milenial bisa menyewa apartemen di kota, yang secara harga, mungkin, lebih terjangkau dengan pemasukan bulanan.

Andy Nugroho, perencana keuangan dari Advisors Alliance Group, menyatakan kondisi riil yang dialami anak muda Indonesia di bawah 30 tahun dalam mencari rumah adalah gerak antara peningkatan gaji dan harga rumah tidak seimbang.

“Misalnya begini, 4 atau 5 tahun lalu, gaji fresh graduate berada di kisaran Rp4 atau Rp5 juta. Sementara harga rumah sendiri, katakanlah, Rp200 juta. Sekarang, kondisinya jadi begini: gaji mereka tidak mengalami perubahan signifikan, sedangkan harga rumahnya bisa naik jadi Rp400 juta atau Rp500 juta,” paparnya.

Walaupun berada pada situasi yang tidak ideal, Andy percaya milenial punya kesempatan untuk membeli rumah sendiri. Syaratnya, Andy menjelaskan, ada tiga. Pertama, kompromi dengan kondisi. Artinya, standar yang dipasang jangan kelewat tinggi.

“Biasanya orang beli rumah itu mempertimbangkan tiga aspek: harga, jarak tempuh ke kantor, dan luas rumah. Untuk milenial, kurangi berharap tiga kriteria itu bisa terpenuhi semuanya. Kalau dapat rumah dengan harga terjangkau tapi lokasinya berada di pinggiran, sikat saja,” jelasnya.

Lalu syarat kedua yakni melihat gaji yang diperoleh dalam satu bulan. Gaji menjadi patokan milenial agar mampu merealisasikan pelbagai proyeksi di masa mendatang, termasuk membeli rumah. Kemudian yang terakhir ialah rencana milenial ke depan. Andy memberi contoh bahwa apabila anak muda yang yakin akan menetap lama di Jakarta untuk meniti karier, kepemilikan rumah bisa jadi salah satu priotitas.

“Sebaliknya, jika milenial ingin berkelana, dalam artian ingin pindah ke kota lain atau luar negeri untuk, misalnya, sekolah dan bekerja, solusinya jangan beli rumah terlebih dahulu,” jawabnya.

“Karena banyak yang beranggapan bahwa rumah adalah bentuk investasi. Tidak salah. Tapi, kalau rumah itu ditinggal pemiliknya dalam jangka waktu lama, bisa jadi terbengkalai. Kasus semacam ini sudah banyak dijumpai.”

Related

Property 782518973224747439

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item