Sejarah dan Asal Usul Gelar Profesor: Siapa saja yang Boleh Menyandangnya (Bagian 2)

Sejarah dan Asal Usul Gelar Profesor: Siapa saja yang Boleh Menyandangnya naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Asal Usul Gelar Profesor: Siapa saja yang Boleh Menyandangnya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Di Amerika Serikat dan Kanada, pengangkatan seorang pengajar senior menjadi profesor lebih terstruktur dibandingkan beberapa negara Eropa pra-Perang Dunia. Profesor bukan lagi sebatas peringkat atau gelar akademik, melainkan jabatan fungsional tertinggi di sebuah universitas. Artinya, seseorang bisa disebut profesor apabila memiliki ikatan kerja dengan perguruan tinggi.

Jürgen Enders, Guru Besar Manajemen Pendidikan Tinggi di University of Bath, Inggris, menerangkan di laman Conversation bahwa sistem tenura itu kemudian diikuti dan dikembangkan oleh universitas-universitas lain di seluruh dunia. Hasilnya adalah model alternatif dan standar kompetensi yang berbeda-beda di setiap negara atau universitas.

“[…] menjadi profesor berarti langkah besar dalam hal status dan keamanan pekerjaan, sementara jalan menuju jabatan profesor itu berliku,” papar Enders yang banyak meneliti perubahan kelembagaan universitas dan perannya dalam masyarakat.

Menurut laman Academic Position, jabatan profesor hanya bisa dicapai oleh akademisi yang sudah menduduki posisi tetap sebagai asisten profesor. Begitu direkrut bekerja di sebuah kampus, asisten profesor akan dievaluasi setiap tahun selama enam sampai tujuh tahun berturut-turut. Mereka diharapkan aktif meneliti dan rajin menerbitkan buku, monograf, makalah, atau artikel jurnal untuk memenuhi persyaratan tenura.

Kondisi dunia penelitian di Indonesia

Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) Deden Rukmana menjelaskan, satu jenjang lagi yang musti dilewati seorang akademisi sebelum jadi profesor adalah associate professor atau rekan profesor.

Sebagaimana asisten profesor, seorang associate professor juga akan melewati beberapa tahun tahap evaluasi. Profesor penuh di Universitas Savannah, Amerika Serikat, itu juga mengatakan bahwa hasil evaluasi itulah yang menentukan keberhasilan pengangkatannya menjadi profesor penuh.

“Para rekan profesor terus dituntut untuk meningkatkan penelitian dan pengabdiannya pada kampus dan masyarakat. Jika hasil evaluasi baik, maka yang bersangkutan bisa meningkat menjadi profesor penuh,” kata Deden.

Kerancuan di Indonesia

Di Indonesia, peraturan resmi yang mengatur pengukuhan profesor pertama kali disahkan pada 1962. Calon profesor pada waktu itu hanya disyaratkan berpendidikan sarjana strata satu dan pengangkatannya wajib melalui persetujuan presiden. Akibatnya, ada kalanya seorang akademisi harus mengabdi selama puluhan tahun sebelum bisa diajukan menjadi profesor.

“[…] walapun hanya disyaratkan berpendidikan sarjana saja, sebagian besar meraih jabatan Profesor setelah cukup lama mengabdi sebagai akademisi, sudah ubanan bahkan karena sudah tua diplesetkan dengan ‘profesor linglung’,” tulis Guru Besar Manajemen Sumber Daya Perairan Univeritas Riau, Adnan Kasry.

Titel profesor begitu prestisius tatkala ia mulai dianggap sebagai cerminan wibawa dan keberhasilan sebuah lembaga keilmuan. Seperti sistem di Inggris, pemakaian atribut profesor di Indonesia ada kalanya masih dipengaruhi oleh hak-hak istimewa. Menurut Adnan, kondisi ini justru menciptakan kerancuan hingga banyak yang menganggapnya sebagai gelar akademik, alih-alih jabatan fungsional.

Kerancuan itu salah satunya ditunjukan melalui acara pelantikan 148 Ahli Peneliti Utama (APU) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjadi profesor riset pada 2006.

Tujuan dari pemberian gelar ini adalah sebagai “insentif non-material terhadap komunitas peneliti, yakni berupa pengakuan dari pemerintah dan negara akan pentingnya peranan peneliti dalam pembangunan bangsa.”

Gagal paham soal peran dan fungsi profesor berlanjut ketika pencabutan gelar profesor Amien Rais jadi polemik pada medio 2019 lalu. Kala itu, Universitas Gadjah Mada disebutkan mencabut gelar profesor milik politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) itu sebagai sanksi atas sikap-sikap dan pernyataan politiknya. Padahal, Amien Rais sudah tidak lagi menyandang jabatan profesor sejak memutuskan pensiun dini pada tahun 1999.

“Seorang dosen kalau sudah pensiun, maka jabatannya juga hilang,” kata Profesor Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar UGM Yogyakarta.

Dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 23 menyebutkan bahwa “sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.” Itu artinya, seseorang yang tidak terikat atau tidak menjalankan kewajibannya dalam lingkungan universitas tidak bisa dijuluki profesor.

Berdasar Undang-undang ini pula, Hadi Pranoto tidak bisa sekadar mendaku titel profesor sebagai panggilan akrab. Pun semestinya ia tak perlu menutupi latar belakang pendidikan dan institusi yang menaunginya. Selama dia sendiri enggan terbuka, tak salah jika publik curiga.

Related

News 5696097340337890929

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item