Ahli Epidemiologi Sebut Indonesia Tak Akan Lakukan Lockdown, Ini Sebabnya
https://www.naviri.org/2020/09/ahli-epidemiologi-sebut-indonesia-tak.html
Naviri Magazine - Ahli Pandemi dan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan respons awal yang cepat dan tepat terhadap Covid-19 menjadi langkah paling krusial untuk menekan penularan pandemi virus corona.
Studi yang dilakukan baik saat pandemi Covid-19 maupun sebelum pandemi lainnya menunjukkan respons awal dari pemerintah pusat maupun daerah sangat menentukan keberhasilan pengendalian Covid-19.
Dicky mengatakan pemerintah China melakukan respons yang cepat untuk melakukan lockdown di Wuhan tanpa melihat apakah Wuhan tersebut merupakan pusat ekonomi atau tidak.
"Respons awal ini tak terlepas dari contoh di Wuhan, tidak tergantung bahwa itu ibu kota atau tidak. Tapi langkah ini dilakukan di mana pun wilayah di negara tersebut yang menjadi sumber pandemi atau klaster pandemi. Respons cepat itu untuk mencegah penyebaran yang lebih masif," kata Dicky saat dihubungi.
Bahkan Dicky mengatakan langkah yang diambil Wuhan bisa dibilang terlambat karena baru melakukan lockdown dua bulan setelah Wuhan mencatat kasus pertama pada November 2020.
Sebelum dilakukan lockdown, sistem kesehatan di Wuhan runtuh, fasilitas kesehatan hampir tak mampu menampung pasien Covid-19. Setelah itu baru pemerintah China melakukan lockdown sebelum menyebar luas.
"Lockdown ini yang didasari dengan data dari epidemiolog berupa data hasil testing, tracing dan isolasi karantina (treatment). Di situ data-data epidemiolog menjadi rujukan valid. Sehingga mereka putuskan lockdown total pada Februari," tutur Dicky.
Respons cepat ini juga dilakukan di berbagai negara, termasuk Italia walaupun disebut Dicky juga relatif lambat. Di AS juga dilakukan respons yang cukup baik.
Dicky menjelaskan, di beberapa negara termasuk AS dan Indonesia ada penyangkalan terhadap Covid-19, sehingga memperlambat strategi pengendalian Covid-19.
"Studi menujukan jumlah kematian yang ratusan ribu di AS itu setengahnya bisa diselamatkan. Semua negara pasti begitu, kalau respons cepat, banyak nyawa bisa diselamatkan. Itu sudah pasti, itu sudah studi ilmiah," kata Dicky.
Dicky mengatakan Indonesia tak pernah mengambil konsep, sementara sebaliknya respons cepat bisa menyelamatkan banyak nyawa. Indonesia tak bisa dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah di mana respons cepat merupakan langkah krusial untuk mengendalikan pandemi Covid-19.
Dicky mengatakan Indonesia tak akan pernah menerapkan lockdown total, sebab konsekuensi ekonominya besar sekali. Oleh karena itu Indonesia dianggap tidak akan pernah mengambil langkah lockdown, tapi menggunakan langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Sebab konsekuensi ilmiahnya besar sekali, dan politik dan sosial. Jadi dari awal Indonesia arahnya sudah jelas tidak akan lakukan lockdown. Yang ddilakukan adalah PSBB yang levelnya di bawah lockdown," tutur Dicky.
Dicky mengatakan lockdown atau karantina wilayah tak akan pernah dilakukan Jakarta, sebab berat bagi Jakarta yang merupakan ibu kota sekaligus pusat perekonomian untuk menerapkan lockdown.
Dicky beranggapan Indonesia harus tetap menguatkan strategi 3T (testing, tracing, dan treatment) kuat untuk mendukung PSBB yang notabene di bawah lockdown.
"Yang jelas posisinya 3T ini untuk Jakarta. Tapi daerah penyangganya tidak oke, Jabar dan Banten tidak oke. Kemudian Jateng dan Jatim yang satu pulau tidak oke," kata Dicky.
Strategi 3T yang tidak kuat dari berbagai daerah itu membuat PSBB kurang efektif. Sebab PSBB tak menutup perbatasan Jakarta dengan daerah lain, berbeda dengan lockdown.
"Jangankan ratusan ribu pembawa virus masuk ke jakarta, satu dua saja bisa jadi 'kebakaran'. Menjadikan satu daerah yang terkendali menjadi tidak terkendali lagi," ujar Dicky.