Apakah Penanganan Corona di Indonesia Bisa Dianggap Berhasil? Ini Kata Ahli

Apakah Penanganan Corona di Indonesia Bisa Dianggap Berhasil? Ini Kata Ahli, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Presiden Joko Widodo menyebut angka kesembuhan pasien COVID-19 di Indonesia “di atas rata-rata internasional, alhamdulillah,” di Banda Aceh, Selasa (25/8/2020). Melansir data Satgas Penanganan COVID-19 sehari kemudian, dari 160.165 total kasus, 115.409 pasien atau sekitar 72 persen di antaranya telah dinyatakan sembuh.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, menjadikan angka itu sebagai tanda kerja baik pemerintah dalam penanganan pandemi. Namun apakah angka kesembuhan memang relevan untuk dijadikan patokan keberhasilan?

Praktisi dan peneliti pandemi Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyatakan tidak. “WHO tidak menempatkan faktor recovery sebagai indikator [keberhasilan] karena memang sebagian besar ini akan sembuh dengan sendirinya tanpa diberikan treatment apa pun,” katanya.

Pada prinsipnya, yang harus dikedepankan dalam penanganan pandemi adalah upaya pencegahan, kataya. Karena itu, semestinya pemerintah menggenjot indikator lain yang digunakan oleh WHO. Salah satunya memenuhi standar 1.000 tes per 1 juta penduduk tiap pekan. Hingga saat ini pemerintah belum mampu memenuhinya.

Selanjutnya, menekan positivity rate (persentase yang memiliki hasil tes positif COVID-19 dibandingkan yang dites) hingga di bawah 5 persen. Saat ini positivity rate Indonesia ada di atas 10 persen. Kemudian, memaksimalkan penjejakan riwayat kontak (tracing) dan menekan angka kematian.

Jika merujuk data Worldmeters, dari total 24.332.275 kasus COVID-19 di dunia, 16.873.305 di antaranya sudah sembuh. Artinya, tingkat kesembuhan global mencapai 69 persen, hanya terpaut 3 persen dari Indonesia. Bagaimana dengan negara lain?

Amerika Serikat, salah satu negara yang disorot karena penanganan pandemi yang terbilang buruk, mencatat dari 6.000.365 total kasus, 3.313.861 pasien alias 55,2 persen di antaranya telah dinyatakan sembuh. Brasil, yang juga disorot, mencatat 2.908.848 kesembuhan dari total 3.722.004 kasus. Artinya, tingkat kesembuhan mencapai 78 persen.

Italia yang pernah menjadi episentrum penyebaran COVID-19 mencatat 206.329 kesembuhan dari 262.540 kasus sehingga tingkat kesembuhannya adalah 78 persen, lebih besar 6 persen dari Indonesia dan 9 persen dari capaian global.

Bagaimana jika dibandingkan dengan negara tetangga? Dari 9.291 total kasus di Malaysia, 8.978 pasien alias 96 persen di antaranya dinyatakan sembuh. Singapura mencatat 56.495 kasus dan 54.971 atau 97 persen di antaranya sembuh. Timor Leste memiliki 26 kasus dan 25 pasien atau 96 persen sudah dinyatakan sembuh, sementara 1 orang lainnya masih di rawat.

Vietnam yang banyak diapresiasi karena keberhasilannya mengatasi pandemi mencatat 632 kesembuhan dari 1.034 kasus alias hanya 61 persen.

Pengajar di Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Riris Andono Ahmad pun menilai angka kepulihan itu harus dilihat secara kritis. Pasalnya, sebagian besar kasus adalah pasien tanpa gejala yang kemungkinan besar akan pulih sendiri. Jika kelompok ini dimasukkan, maka kemungkinan akan menyamarkan mereka yang bergejala.

Karena itu, kata dia, penting bagi masyarakat untuk membaca data yang disampaikan Jokowi dengan memperhatikan konteksnya. Mulai dari angka kematian yang masih tinggi—termasuk angka kematian tenaga kesehatan—dan juga pada perilaku masyarakat yang kembali pada kehidupan normal seperti sebelum masa pandemi tapi abai pada protokol kesehatan.

Penggunaan persentase untuk menggambarkan situasi kesembuhan pun memiliki cela. Contohnya Brasil yang memiliki tingkat kesembuhan 78 persen dan Vietnam yang justru hanya 61 persen. Riris mengatakan itu disebabkan jumlah kasus di antara kedua negara timpang.

“Di Vietnam kasus sangat sedikit, jadi dengan sedikit kematian pun proporsinya sudah sangat tinggi,” katanya.

Dari segi 'politik', Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consultant Pangi Syarwi Chaniago menilai Jokowi tengah berusaha menjaga muka pemerintah yang sering dikritisi akibat penanganan COVID-19 yang amburadul.

Menurutnya, itu penting dilakukan Jokowi untuk menjaga kepercayaan masyarakat bahwa dirinya masih mampu menghadapi pandemi.

“Pemerintah itu, kan, mementingkan citra, mengambil empati bahkan kadang-kadang dengan segala cara pun mereka bisa lakukan. Apalagi ada data yang bisa mereka giring-giring, mereka poles untuk menutupi kelemahan," kata Pangi.

Sementara peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhammad Bigwanto mengatakan bisa saja Jokowi hendak menumbuhkan optimisme masyarakat. Masalahnya, mungkin itu berbuah blunder karena mengakibatkan kesalahpahaman di kalangan awam.

“Ada risiko masyarakat beranggapan Corona tidak terlalu mematikan, sama seperti flu biasa,” kata Bigwanto.

Bigwanto mengingatkan pemerintah juga pernah mengumbar tentang zonasi merah, kuning, hijau, yang memberikan kesan aman pada sejumlah daerah. Padahal di sisi lain, sepanjang tidak ada pembatasan keluar masuk warga, maka zonasi tidak relevan sebab penularan bisa terjadi lintas wilayah. Dia lantas menuntut pemerintah fokus untuk menangani sektor hulu, yakni pengujian dan penjejakan, alih-alih di hilir seperti tingkat kesembuhan.

“Angka kesembuhan juga akan sangat mungkin turun kalau jumlah kasus tidak terbendung, yang akhirnya banyak pasien tidak bisa ditangani fasilitas kesehatan. Selain itu risiko ke tenaga kesehatan semakin tinggi,” kata dia.

Related

News 8784821419004425038

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item