Beban Batin Pasien Corona: Dari Stres karena Sakit, sampai Jaga Ekonomi Keluarga

Beban Batin Pasien Corona: Dari Stres karena Sakit, sampai Jaga Ekonomi Keluarga

Naviri Magazine - Dosen di salah satu Perguruan Tinggi (PT) di Yogyakarta ini tak pernah menyangka, sakit flu dan batuk yang Ia alami sejak awal September mengarah pada Covid-19.

Mengingat, selama ini dirinya memang termasuk orang yang mudah terserang flu dan membutuhkan waktu cukup lama untuk penyembuhannya.

Pria yang kini sedang menjalani isolasi di Rumah Sakit Rujukan Covid-19 ini mengaku, awalnya merasakan gejala flu pada 2 September dini hari. Dua hari kemudian, ia memeriksakan diri ke Rumah Sakit non rujukan Covid-19 di Bantul.

"Pemeriksaan saya di lab semua, kecuali tes swab karena memang di sana tidak punya swab," ungkapnya melalui sambungan telepon.

Dari hasil pemeriksaan lab di RS itu, kondisi paru-paru, jantung, dan darah juga baik. Ketika itu hasil rapid tes juga non-reaktif.

Bahkan, lanjut dia, ketika hendak melakukan swab mandiri di salah satu rumah sakit rujukan justru sempat ditolak karena hasil pemeriksaan di rumah sakit sebelumnya menunjukkan data yang bagus.

Pria yang juga aktif di kegiatan sosial ini akhirnya memutuskan untuk mencari rumah sakit lain untuk melakukan tes swab mandiri di beberapa hari berikutnya. Namun karena RS tersebut penuh dengan pasien lain yang juga akan melakukan swab, dirinya memilih untuk membatalkan rencana tersebut.

"Dari jam 11 - jam 1 siang saya belum dipanggil-panggil dan situasi di sana malah crowded, banyak orang yang juga mau tes. Bahaya menurut saya, malah jadi klaster baru, lalu saya tidak jadi tes di sana, padahal sudah membayar Rp2,1 juta," sambungnya.

Karena flu dan batuk tidak kunjung sembuh, ia kembali periksa ke RS, kemudian dirujuk ke RS rujukan Covid-19 di Sleman.

"Setelah di tes swab, saya ditahan untuk isolasi di Rumah Sakit ini," ucapnya.

Sehari setelahnya menjalani tes swab, dan hasilnya dinyatakan positif Covid-19.

"Senin (14/9) saya dinyatakan positif kena Covid berdasarkan hasil tes swab pertama, tapi saya sudah berada di ruang isolasi," paparnya.

Pria ini mengaku, selama seminggu terakhir menjalani masa isolasi di Rumah Sakit, kondisi kesehatannya naik turun. Terutama karena terpikirkan keadaan keluarganya hingga sulit tidur. Mengingat, empat dari tujuh orang anggota keluarga di rumahnya juga reaktif saat menjalani rapid tes.

"Sampai saya takut telpon ke rumah, kalau ada berita-berita yang tidak enak. Saya sudah jauh dari mereka dan stres sekali," tutur dia.

Ia juga menggambarkan bahwa suasana di Ruang isolasi RS itu sepi, dan seperti di penjara karena tidak bisa bebas ke mana-mana. Belum lagi melihat para petugas medis yang mengenakan hasmat hingga tak terlihat wajah-wajah mereka secara jelas karena tertutup APD.

Dalam kondisi itu, menurutnya hal paling penting yang dibutuhkan pasien Covid-19 adalah dukungan moral dan ekonomi. Sebab, yang menjalani isolasi itu tidak hanya pasien yang sakit, tetapi juga keluarganya sehingga secara ekonomi juga mempunyai potensi masalah besar.

"Belum lagi butuh biaya swab sekitar Rp2 juta. Bagaimana kalau orang-orang yang kurang mampu harus menjalani itu luar biasa susahnya," ucapnya.

Kondisi berat tersebut, kata dia, belum ditambah dengan beban sosial, karena masyarakat menjadi takut bergaul dengan pasien dan keluarganya.

Namun, di sisi lain ia juga menyampaikan bahwa ada hikmah di balik musibah yang dialaminya saat ini, karena selama masa isolasi, dirinya punya banyak waktu untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, dengan banyak berdzikir dan berdoa.

Ia juga berharap, pemerintah lebih ketat lagi dalam menerapkan protokol kesehatan. Meningkat, virus corona ini bisa menular ke siapa saja, sehingga salah satu jalan terbaiknya adalah dengan menerapkan protokol tersebut.

Related

News 2946497314387092078

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item