Biaya Pernikahan Semakin Mahal, Anak-anak Muda Makin Enggan Menikah

Biaya Pernikahan Semakin Mahal, Anak-anak Muda Makin Enggan Menikah, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Seorang perempuan bernama Baeck menjadi bintang YouTube melalui konten-konten yang mempromosikan gaya hidup melajang. Nama salurannya “solo-darity”.

Baeck berkali-kali menegaskan bahwa “masyarakat membuatku merasa gagal berada di usia 30-an tapi belum menjadi istri atau ibu.”

Perempuan lajang di Korsel dijuluki “mi-hon” atau “belum menikah”. Baeck tidak hanya menolak penamaan tersebut. Ia juga menawarkan istilah baru: “bi-hon”, yang berarti “tidak akan menikah, tidak akan memiliki anak.”

Ada masa depan yang lebih ambisius yang berusaha Baeck kejar. Ia menilai upaya pemerintah yang mendorong agar warganya lebih rajin beranak sebagai bentuk pelecehan.

Lebih jauh lagi, hal semacam itu meningkatkan rasa frustasi generasi muda yang sudah dipusingkan oleh problem finansial.

Segalanya serba menguras dompet

Menurut data OECD, jumlah pengangguran di Korsel melonjak 3,4 persen pada penduduk berusia sekitar 17 tahun. Sementara itu, upah tahunan pada tahun 2017 rata-rata hanya berjumlah 35,5 juta won atau $31.650. Angka ini hampir setengah dari rata-rata upah orang Amerika yang mencapai $60.558 dolar.

Di tengah gaji yang pas-pasan, rata-rata pekerja di Korsel berhadapan dengan pengeluaran yang tinggi, terutama untuk membayar sewa tempat tinggal.

Pernikahan menjadi momok bagi generasi muda yang baru memulai karier. Biayanya makin hari makin tidak masuk akal. Sewa gedung, biaya katering, hadiah pernikahan untuk mertua, ditambah keperluan-keperluan lain: itu semua membutuhkan uang tabungan yang sulit dijangkau dengan gaji yang mereka terima.

Dampaknya, lebih dari 20 persen gedung pernikahan di Seoul kini gulung tikar. Termasuk di antaranya dua gedung paling mewah di lingkungan orang kelas menengah-atas, Gangnam, yaitu Suaviss Wedding Hall dan JS Gangnam Wedding Culture Center.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Selain sosialisasi, sejumlah pemerintah lokal berinisiatif menggelar ajang perjodohan. Antara lain pemerintah Kota Sejong, Gangnam, dan beberapa desa di Provinsi Chungcheong selatan.

Sejak 2005 pemerintah telah mengucurkan 36 triliun won untuk meringankan beban finansial pasangan yang baru memiliki anak. Pemerintah juga menawarkan subsidi pengasuhan anak sebesar 300.000 won per bulan dan insentif-insentif serupa untuk keluarga muda.

Upaya-upaya tersebut dinilai belum membuat dampak yang substansial. Pemerintah tidak hanya berhadapan dengan akademisi kritis, tapi juga anak-anak muda seperti Baeck yang berani menyuarakan sikap.

“Masalah terbesar pemerintah adalah mereka tidak mendengarkan para perempuan—pihak yang harus melahirkan anak-anak dan harus membesarkan mereka,” kata Kang Han-byul, pendiri EMIF (Elite without Marriage, I am going Forward), organisasi di mana Baeck juga terdaftar sebagai anggota.

"Mereka mencoba menjual ide ini bahwa berkeluarga itu indah, memiliki anak-anak itu indah, padahal ada banyak hal tak terucapkan yang sebenarnya terjadi pada istri secara fisik dan mental. Kebijakan pemerintah tidak akan pernah mempengaruhi kita," tegasnya kepada Bloomberg.

Related

Romance 246900801455449607

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item