Hukum Talqin Mayit Menurut Empat Mazhab Dalam Islam

Hukum Talqin Mayit Menurut Empat Mazhab Dalam Islam

Naviri Magazine - Talqin secara bahasa berarti mengajar atau memahamkan secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengajar dan mengingatkan kembali kepada mayit (orang meninggal dunia) yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu. Mentalqin mayit merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Lalu, bagaimanakah hukum mentalqin mayit? 

Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali, menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya sunnah.

Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menyebutkan: “Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur hanyalah karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut.” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar Ala Ad-Durril Muhtar, juz 2, h. 205). 

Syekh Al-Mawwaq dari mazhab Maliki juga menyebutkan: “Jika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinnya pada saat itu. Hal ini merupakan perbuatan penduduk Madinah yang shaleh lagi baik, karena sesuai dengan firman Allah ta’ala: ‘Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman’.”

“Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan tentang Allah saat ditanya oleh malaikat.” (Muhammad bin Yusuf Al-Mawwaq Al-Maliki, At-Taj Wal Iklil li Mukhtashari Khalil, juz 2, h. 375). 

Senada dengan kedua ulama di atas, Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:  “Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah, anak hamba perempuan Allah.

“Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang; tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur.

“Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 303). 

Sedangkan, Syekh Al-Bahuti dari mazhab Hanbali menulis: “Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu.” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat, juz 1, h. 374). 

Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan: “Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya, begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan).” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153). 

Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: “Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya.

“Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah.

“Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil.” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356). 

Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya makruh. Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki menyebutkan: “Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur.” (Abdul Wahhab bin Ali Al-Baghdadi, Syarhur Risalah, h. 266). 

Dengan demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur. Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali, menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menghukuminya makruh. 

Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh hadits riwayat Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

“Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya, kemudian berkata: ‘Wahai Fulan putra si Fulanah’. Sungguh si mayit mendengarnya dan tidak menjawabnya.” (HR Thabrani). 

Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut, bahwa sekalipun hadits itu dhaif tetapi dapat dijadikan sebagai dalil penguat. Apalagi, para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 304). Wallahu a’lam.   

Related

Moslem World 6229923868056547092

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item