Jokowi Tolak Pilkada 2020 Ditunda, Ilmuwan: Katanya Kesehatan Nomor Satu?
https://www.naviri.org/2020/09/jokowi-tolak-pilkada-2020-ditunda.html
Naviri Magazine - Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, meminta agar pemerintah menunda Pilkada 2020 yang direncanakan berlangsung pada 9 Desember 2020. Menurutnya, pesta demokrasi tersebut berpotensi menciptakan klaster penularan virus corona baru, mengingat Indonesia saat ini diklaim masih berada dalam masa krisis pandemi.
Menurut Dicky, Pilkada 2020 perlu ditunda setidaknya hingga tiga bulan, atau ketika Indonesia telah berhasil mengendalikan pandemi corona. Dengan kondisi terkendali, Indonesia tak hanya bisa melangsungkan Pilkada 2020, tetapi juga aktivitas lain secara aman.
"Jadi, saya sih mengajukannya begitu. Kita kendalikan. Ini, kalau betul-betul sungguh-sungguh sebetulnya dalam waktu setidaknya 2-3 bulan, pandemi ini bisa terkendali, misalnya, di Jawa saja, 3 bulan. Bisa, asal strateginya dijalankan betul-betul dan tepat," kata Dicky.
“Jadi, saya kira cara terbaiknya adalah memastikan kondisinya aman, terkendali pandemi ini dengan sesuai indikator epidemiologinya. Tidak ada kasus baru, tidak ada kematian, test positivity rate-nya di bawah 5 persen.” ujar Dicky Budiman.
Di tengah desakan berbagai pihak untuk pemerintah menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Presiden Jokowi bersikukuh bahwa pesta demokrasi tersebut tetap berlangsung sesuai jadwal.
Menurut Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, Jokowi menolak agar Pilkada 2020 ditunda dan tetap digelar Desember mendatang. Sebab, menurut Jokowi, Pilkada 2020 tak bisa menunggu kepastian kapan pandemi berakhir.
"Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Fadjroel dalam keterangan yang diterima media.
"Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan Pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak satu negara tahu kapan pandemi COVID-19 akan berakhir," ujarnya.
Lebih lanjut, Fadjroel mengatakan bahwa banyak negara lain di dunia yang tetap menjalankan pemilu di tengah pandemi corona. Menurut dia, Indonesia bisa menjadikan hal ini sebagai contoh.
Ia pun mengingatkan, yang terpenting protokol kesehatan harus dijalankan secara ketat di dalam tiap tahapan Pilkada 2020. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadi lonjakan penyebaran atau klaster saat pilkada digelar.
Pandemi Corona di Indonesia Belum Terkendali
Kondisi pandemi corona di Indonesia sendiri saat ini belum terkendali. Hal ini ditandai dengan gagalnya capaian sejumlah indikator epidemiologi, mulai dari tes yang minim hingga positivity rate yang tinggi.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, misalnya, Indonesia baru memeriksa tes swab PCR 1.743.000 orang. Jumlah tersebut membuat Indonesia hanya punya rasio tes swab PCR 6.455 orang per satu juta penduduk, di mana kita jadi salah satu negara terendah dalam kategori ini. Dari jumlah tes swab PCR tersebut, sebanyak 832.772 orang di antaranya (47,77 persen dari total nasional) hanya berasal dari Jakarta.
Selain itu, Indonesia dalam sepekan terakhir mencatat positivity rate tes swab PCR sebesar 15,8 persen. Jumlah tersebut 3 kali lebih besar ketimbang batas minimum yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mensyaratkan suatu wilayah memiliki positivity rate di bawah 5 persen.
Dengan rapor merah tersebut, Dicky ragu imbauan protokol kesehatan cukup untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dari Pilkada 2020 akibat COVID-19.
"Bukan hanya Pilkada itu berpotensi menjadi klaster-klaster, yang artinya akan memakan korban kematian. Potensi kematian ada ya dalam klaster-klaster ini, yang artinya orang-orang akan menjadi korban," kata Dicky.
"Walaupun memastikan adanya protokol, ya protokol ini dilakukan di atas kondisi yang belum terkendali. Jadi, yang namanya protokol kesehatan itu akan efektif ketika strategi utamanya sudah dilakukan dengan optimal. Ketika itu belum terkendali ya tetap akan terjadi," sambungnya.
Dicky menjelaskan, setidaknya ada dua contoh negara yang bisa menjalankan pemilu di tengah pandemi corona. Kedua negara tersebut adalah Korea Selatan dan Sri Lanka.
Namun Dicky menekankan, kedua negara tersebut telah berhasil mengontrol kondisi pandemi di wilayah mereka, tidak seperti Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa serta-merta merujuk kesiapan Pilkada di tengah pandemi seperti negara lain.
"Kondisi kedua negara itu ketika melakukan pemilu jauh lebih terkendali dari kondisi Indonesia saat ini," kata Dicky. "Ini artinya tidak sama kondisinya dengan kondisi Indonesia saat ini."
Senada dengan Dicky, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, juga menganggap bahwa penundaan Pilkada 2020 adalah solusi terbaik ketimbang dijalankan sesuai rencana. Pandu pun mempertanyakan komitmen Jokowi yang, pada awal September lalu, menyebut kalau kesehatan jadi fokus nomor satu pemerintah saat ini.
"Hebat Pak Jokowi, katanya mau menomorsatukan kesehatan?" kata Pandu.
Pandu menilai, masalah Pilkada 2020 di tengah pandemi corona terletak pada cara pemilihan yang mengharuskan adanya kerumunan orang, mulai dari kampanye hingga pendaftaran saat pemilihan.
Ia pun menekankan bahwa, jika Pilkada gagal untuk mencegah adanya kerumunan orang, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia bakal melonjak dari yang diprediksi oleh Tim FKM UI.
"Jadi boleh aja kalau mau Pilkada, tapi nggak boleh ngumpulin massa sama sekali. Yang bikin masalah kan proses Pilkada di Indonesia itu harus pakai kerumunan orang, dari pendaftaran, rombongan orang-orang, nanti kampanye juga gitu," kata Pandu.
"Nanti kalau ada Pilkada, ada kerumunan, itu bisa tinggi sekali (kenaikan kasus), karena itu masyarakat berkumpul kan," sambungnya.
Indonesia sendiri saat ini telah mencapai tambahan kasus harian corona sebanyak lebih dari 4.000 kasus, dalam dua hari berturut-turut. Jumlah ini sesuai dengan salah satu skenario prediksi Tim FKM UI pada Juli 2020, yang memprediksi bahwa Indonesia akan mencapai 4.000 kasus COVID-19 per hari pada September 2020.
Skenario prediksi ini, yang ternyata telah menjadi fakta, merupakan skenario terburuk yang dibuat oleh Tim FKM UI. Menurut mereka, skenario terburuk ini bakal terjadi jika pemerintah tidak serius dalam menjalankan tes, lacak, isolasi, serta masyarakat tidak disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.