Kamboja Bikin UU yang Larang Pakai Rok Pendek, Para Wanita Lancarkan Protes
https://www.naviri.org/2020/09/kamboja-bikin-uu-yang-larang-pakai-rok.html
Naviri Magazine - Ketika Molika Tan, 18 tahun, pertama kali mendengar informasi bahwa pemerintah sedang menyusun aturan denda bagi perempuan Kamboja yang mengenakan pakaian terbuka, ia merasa prihatin dan segera menginisiasi petisi daring untuk menentangnya.
Rancangan undang-undang ketertiban umum yang diusulkan itu akan melarang perempuan Kamboja mengenakan pakaian yang "terlalu pendek atau terlalu menerawang", dan melarang pria bertelanjang dada.
Pemerintah mengklaim RUU itu bertujuan melestarikan tradisi budaya dan martabat sosial masyarakat Kamboja, walaupun memunculkan banyak kritikan.
Molika memandang rancangan regulasi tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan perempuan. Molika Tan bertanya, 'Mengapa saya harus didenda untuk pakaian yang saya kenakan?'
"Sebagai anak muda Kamboja, saya ingin keluar rumah dengan perasaan aman dan mengenakan pakaian yang nyaman. Saya ingin dapat mengekspresikan diri melalui pakaian yang saya kenakan dan tidak dibatasi oleh pemerintah, " dia berkata.
"Saya yakin ada cara lain untuk menegakkan tradisi budaya daripada sekadar menerapkan aturan yang melarang perempuan mengenakan rok pendek."
Petisi online-nya dimulai pada bulan lalu, dan sejauh ini telah menerima lebih dari 21.000 tanda tangan.
Banyak perempuan di Kamboja telah berbagi pandangan melalui media sosial dengan mengunggah foto diri mereka disertai tulisan, "Apakah saya akan didenda karena ini?" ditambah tanda pagar #mybodymychoice.
"Kami selalu diharapkan untuk bersikap patuh pada laki-laki," kata Molika, yang mempercayai bahwa perilaku dibentuk oleh kode etik tradisional yang menyebutkan bahwa perempuan harus lembut hati.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menekan perempuan yang mengenakan pakaian terbuka, dan melarang penyanyi dan aktor menggunakan pakaian tidak pantas.
Pada bulan April, seorang perempuan dijatuhi hukuman enam bulan penjara atas tindakan pornografi karena ia mengenakan pakaian yang disebut "provokatif", saat menjual pakaian di media sosial.
Perdana Menteri Hun Sen saat itu menyebut, dalam siaran langsung, apa yang dilakukan perempuan itu sebagai "pelanggaran atas budaya dan tradisi" dan menyatakan bahwa perilaku seperti itu berkontribusi pada pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan.
Aylin Lim, 18 tahun, yang bergabung dalam kampanye menentang aturan yang tengah dibahas itu mengatakan, dia ingin menyoroti budaya Kamboja yang menyalahkan korban.
"Jika disahkan, itu [aturan] hanya akan memperkuat pandangan bahwa pelaku pelecehan seksual bisa lolos begitu saja dan kekerasan itu bukan salah pelaku," katanya.
"Tumbuh besar di Kamboja, saya selalu diberitahu untuk pulang pada pukul 8 malam, dan mengenakan pakaian yang tidak terbuka badannya," tambahnya.
Selain rencana mengatur cara berpakaian, para aktivis juga mengkhawatirkan aspek aturan lain dari rancangan undang-undang tersebut.
Proposal tersebut mencakup larangan orang dengan "gangguan mental" untuk berjalan "bebas di tempat umum", larangan "segala bentuk mengemis", dan dibutuhkan persetujuan dari pihak berwenang dalam "penggunaan ruang publik" untuk pertemuan damai.
Aktivis seperti Chak Sopheap, direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, mengatakan jika aturan ini disahkan maka akan berdampak pada kelompok masyarakat ekonomi miskin. Chak Sopheap mengatakan 'pembatasan cara berpakaian akan merusak otonomi individu warga'
"Aturan itu berpotensi menciptakan semakin mengakarnya kemiskinan dan ketidaksetaraan sistemik," katanya.
Rancangan undang-undang tersebut rencanannya akan berlaku tahun depan jika kementerian-kementerian dalam pemerintahan dan majelis nasional menyetujuinya.
Ouk Kimlekh, Sekretaris Negara di Kementerian Dalam Negeri Kamboja, menolak permintaan wawancara, dan mengatakan bahwa undang-undang tersebut masih dalam bentuk "draf pertama".
Walaupun demikian, aktivis Chak Sopheap takut jika tidak diawasi maka rancangan itu akan berjalan mulus, kecuali ada tekanan publik yang masif dan kuat.
"Di Kamboja, undang-undang sering kali disahkan secara terburu-buru, menyisakan sedikit atau tidak ada waktu untuk konsultasi dengan pemangku kepentingan," katanya.
Molika masih optimistis jika petisinya akan dapat membangkitkan kesadaran pemerintah untuk terbuka terhadap masukan. "Saya ingin menunjukkan kekuatan perasaan tentang masalah ini," katanya.