Pilkada di Masa Pandemi: Tuntutan Demokrasi di Tengah Ancaman Keselamatan Rakyat (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/09/pilkada-di-masa-pandemi-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pilkada di Masa Pandemi: Tuntutan Demokrasi di Tengah Ancaman Keselamatan Rakyat - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Selanjutnya di Pasal 63, KPU mengizinkan kampanye dilakukan dalam bentuk pentas seni dan konser musik. Boleh juga dilakukan gerak jalan santai atau bersepeda santai serta perlombaan yang tidak diatur apa saja jenisnya.
Awalnya, jumlah peserta tidak dibatasi sama sekali.
Namun ketika kasus terus meningkat, KPU sekali lagi mengadakan perubahan dengan menelurkan PKPU Nomor 10 tahun 2020. Tapi bukannya meniadakan konser musik dan sebagainya, PKPU membatasi jumlah peserta menjadi 100 orang dalam kegiatan tersebut. Sekali lagi, mereka menuai kritik dari publik.
“Di dalam lokasi acara bisa dibatasi, namun gaung konser musik kan bukan hanya di dalam lokasi acara, itu yang harus diperhitungkan. Karakter konser musik itu berbeda dengan aktivitas lain, aspek hiburannya lebih dominan dan itu secara alamiah bisa memikat pihak di luar target peserta kampanye juga untuk ikut serta.
“Apalagi hingar bingarnya pasti tidak hanya bisa dibatasi di lokasi acara secara sempit,” kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam keterangan tertulis.
Padahal ketika disepakati, PKPU Nomor 6/2020 sebenarnya sudah dibahas di DPR bersama dengan pemerintah, KPU, dan Badan Pengawasi Pemilu (Bawaslu) pada 24 Agustus 2020. Semua lembaga itu tidak ada yang bisa menakar betapa rawannya kampanye yang memperbolehkan konser musik atau kerumunan di tengah pandemi.
Akhirnya, PKPU Nomor 6/2020 ini lolos begitu saja. KPU bisa jadi memang kebobolan, tapi, pada saat bersamaan, pihak-pihak yang membahasnya seperti pemerintah dan DPR sama saja dengan KPU. Mereka ikut meloloskan aturan ini.
Saling Lempar Bola
Negara lain memang mengadakan pilkada tetap di tahun 2020. Namun sebagian dari mereka punya dasar yang cukup kuat. Perancis, misalnya, punya positivity rate 5,4 persen.
Positivity rate menjadi satuan pengukuran penyebaran virus COVID-19. Semakin tinggi angkanya, maka semakin besar kemungkinan satu orang menularkan virus COVID-19 ke beberapa orang. Negara yang tetap memaksakan pemilu lazimnya punya positivity rate yang rendah. Contoh lain, Italia, hanya berada di angka 2,7 persen.
Indonesia jauh panggang dari api. Pemerintah menyebut positivity rate Indonesia adalah 14 persen. Sebelumnya, pada akhir Juli 2020, angkanya masih 13,3 persen. Berdasarkan standar WHO, positivity rate yang menunjukkan angka pengujian memadai sebaiknya di bawah 10 persen. Lebih baik lagi jika di bawah 3 persen.
Komisioner KPU Viryan Azis menyatakan keputusan KPU ini belum final. Bisa saja ada aturan lain yang dikeluarkan untuk merevisi PKPU Nomor 10/2020. Tapi di saat bersamaan, Viryan juga menegaskan pentingnya pengadaan Perppu untuk menambal aturan-aturan yang masih bolong, misalnya melarang keramaian dengan sanksi pidana.
Dengan permintaan ini, KPU melempar bola kepada pemerintah alih-alih melarang adanya kegiatan kampanye seperti konser musik dan sebagainya. Padahal, menurut Titi Anggraini, KPU seharusnya bisa mengeluarkan aturan PKPU yang baru. Artinya, tidak harus bergantung pada Perppu.
“Karena pengaturan soal aktivitas konser musik itu ada di PKPU, semestinya sangat bisa untuk direvisi,” ujar Titi.
Mendagri Tito Karnavian dalam sebuah diskusi pada Minggu (20/9/2020) juga masih belum menentukan apakah akan ada Perppu atau tidak. Apabila Perppu tidak terwujud, Tito justru melempar bola panas kepada KPU. Dalam minggu ini, jika Perppu tidak keluar, maka revisi PKPU harus diselesaikan. Dan KPU yang seharusnya bisa menghadirkan solusinya.
"Kuncinya ada di KPU sendiri," ucap Tito. "Kami (pemerintah, Kemendagri) mendorong membantu termasuk rapat kita lakukan."
Dalam blog pribadinya, Viryan memaparkan bahwa adaptasi KPU dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 terkendala regulasi UU Pemilu tahun 2016 yang tidak mengatur tentang hukuman pidana.
Lebih jauh lagi, Viryan tak mengakui ketidakmampuan atau keengganan KPU menghapus kampanye lewat konser musik dan sebagainya. Viryan justru menuding media mengutip secara tidak utuh “perihal KPU membolehkan kampanye dalam bentuk konser musik.”
Viryan juga masih berkutat dengan kepercayaan Pilkada 2020 dapat menjadi “puncak perlawanan COVID-19.” Angan-angannya begini: "lebih 100 juta warga Indonesia datang ke TPS dengan kesadaran tinggi menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Menolak untuk berkerumun, disiplin menjaga jarak, dan menggunakan masker. Semoga..."
Nyatanya, jangankan partisipan Pilkada 2020, Komisioner KPU bahkan tidak lolos dari ancaman virus corona. Tiga komisioner—Arief Budiman, Pramono Ubaid, dan Evi Novida Ginting—terdeteksi positif COVID-19.