Fakta-fakta Mi Instan, Makanan Cepat Saji Paling Populer di Indonesia dan Dunia (Bagian 2)

Fakta-fakta Mi Instan, Makanan Cepat Saji Paling Populer di Indonesia dan Dunia

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta-fakta Mi Instan, Makanan Cepat Saji Paling Populer di Indonesia dan Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sumbangsih GKM terhadap garis kemiskinan selalu lebih besar daripada GKNM setiap tahun. Angkanya pun mengalami peningkatan 0,44 persen pada tiga tahun terakhir, dari 73,31 persen pada 2017 menjadi 73,75 persen atau sekitar Rp324.911,00 pada 2019. Ini artinya, penduduk miskin lebih banyak mengalokasikan pengeluaran mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Untuk dua komoditas teratas yakni beras dan rokok, besarnya angka konstribusi disebabkan oleh harga kedua komoditas yang tinggi dan cenderung mengalami kenaikan. Belum lagi laju inflasi yang menghantui kedua komoditas tersebut.

Sementara pada kasus mi instan, konstribusi disebabkan oleh tingginya pengeluaran akibat konsumsi mi instan. Ditambah jumlah kalori dalam setiap bungkus mi instan yang mencapai 300-500 kcal atau kilokalori. 

Menurunnya laju sumbangsih mi instan terhadap kemiskinan juga selaras dengan menurunnya tren konsumsi mi instan sejak 2015. WINA memperkirakan, permintaan mi instan di Indonesia berkurang 680 juta porsi dari konsumsi mi instan pada 2015 yang mencapai 13.200 juta porsi.

Tak bisa dipungkiri memang apabila konsumsi mi instan sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Namun, tingginya permintaan akan mi instan di Indonesia tak hanya dipelopori alasan ekonomi. 

Dalam survey perusahaan jasa keuangan terkemuka Credit Suisse terhadap pasar mi instan “Indonesia Consumer Survey 2017” terlihat mayoritas penikmat mi instan di Indonesia justru berasal dari kelompok ekonomi menengah dengan kisaran pendapatan Rp5-7 juta per bulan. 

Mi instan bahkan mengalahkan konsumsi komoditas pangan lain seperti, air mineral kemasan, rokok, produk susu dan minuman berkarbonasi pada kelompok pendapatan tersebut.

Pola konsumsi yang sama terlihat dari tingginya konsumsi mi instan di Kepulauan Riau. Pada 2017, Kepulauan Riau mencatatkan diri sebagai provinsi dengan konsumsi mi instan tertinggi di Indonesia. 

BPS mencatat, konsumsi mi instan di provinsi yang berbatasan dengan sejumlah negara tetangga itu mencapai 5,20 bungkus per kapita per bulan. Fakta ini tidak mencerminkan adanya keterkaitan konsumsi mi instan dengan kemiskinan, mengingat Kepulauan Riau bukan provinsi miskin.

Persentase tingkat kemiskinan Kepulauan Riau sendiri hanya berkisar pada angka 6,06 persen pada 2017. Jauh lebih rendah dari persentase rata-rata tingkat kemiskinan nasional yakni 10,64 persen. 

Rata-rata pengeluaran per kapita perbulan masyarakat Kepulauan Riau pada tahun tersebut juga tergolong tinggi yakni Rp1.670.865,00, lebih besar Rp575.189,00 dari rata-rata nasional yang senilai Rp1.095.676,00.

Tingginya konsumsi mi instan di perkotaan ketimbang wilayah pedesaan juga mengindikasikan hal serupa. Kawasan perkotaan di Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pedesaan. 

Hal demikian terukur dari lebih kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan pada kelompok masyarakat kota. Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran memang menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang digunakan BPS.

Menurut Hukum Engel yang menjadi rujukan dasar BPS, pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan naiknya pendapatan seseorang. Dengan kata lain, seseorang dengan pendapatan yang besar akan lebih membelanjakan uangnya untuk komoditas non-makanan dan/atau tabungan. 

Selain itu, besarnya pengeluaran per kapita yang dialokasikan untuk makanan daripada non-makanan mengisyaratkan perekonomian seseorang sangat rentan terdampak oleh kenaikan harga komoditas pangan. 

Kendati demikian, perbandingan konsumsi mi instan di perkotaan dan pedesaan juga mungkin disebabkan faktor lain seperti ketersediaan dan akses terhadap mi instan di masing-masing daerah.

Sejak diperkenalkan pada akhir 1960-an oleh PT Lima Satu Sankyo melalui merek dagang Supermi, industri mi instan terus tumbuh dan berinovasi. Tak puas hanya mengembangkan varian rasa baru, para produsen mi instan kini memasuki babak baru: ‘premiumisasi’ mi instan. 

Inilah cara baru menyasar konsumen menengah atas melalui tambahan daging ayam, sapi maupun jamur sebagai pelengkap, seperti yang dilakukan Indomie Real Meet, Tasty dari Wings Food, juga Bakmie Mewah produksi PT Mayora Indah Tbk. Hadir juga mi instan yang diklaim sehat tanpa bahan pengawet dan MSG.

Di tengah persaingan dalam negeri, merek mi instan asing seperti ramen Korea dan Jepang juga mencoba merambah pasar Indonesia, salah satunya Samyang. Merek ramen pedas Korea itu bahkan telah mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menarget lebih banyak penjualan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Pola konsumsi mi instan juga ‘naik kelas’, dari produk yang disantap di rumah kini menyentuh meja-meja rumah makan kelas menengah. Warung-warung kecil di pinggir jalan, kafe juga restoran menengah memasukkan mi instan ke daftar menu atau bahkan menjadikannya menu andalan. 

Para juru masak berlomba menyajikan mi instan dengan ciri khasnya masing-masing, mulai dari disajikan bersama telur, keju, dan kornet, dibuat pedas sedemikian rupa, sampai diolah menjadi hidangan Jepang seperti sushimi atau pilihan kuah sukiyaki.

Related

World's Fact 1110988822865600317

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item