Persoalan Cuti Hamil dan Haid dalam UU Cipta Kerja: Bagaimana Nasib Buruh Perempuan?

Persoalan Cuti Hamil dan Haid dalam UU Cipta Kerja: Bagaimana Nasib Buruh Perempuan?

Naviri Magazine - Ketentuan cuti hamil dan melahirkan, serta cuti haid menjadi simpang siur di kalangan masyarakat setelah disahkannya Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR RI sendiri sudah menegaskan bahwa hak cuti tersebut masih berlaku sesuai Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 84 UU 13/2003, pekerja yang mengambil cuti hamil dan melahirkan seperti yang tertuang di pasal 82, maupun istirahat panjang seperti yang tertuang di pasal 79 ayat (2) tetap berhak mendapatkan gaji penuh. Dalam UU Cipta Kerja, pasal yang membahas cuti hamil dan melahirkan, serta haid tak dilakukan perubahan.

Namun, yang dikhawatirkan dan menjadi isu liar adalah hak upah atau gaji penuh selama menjalankan cuti, terutama cuti hamil dan melahirkan selama 3 bulan.

"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar. No work, no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut. 

“Dengan kata lain, otomatis peraturan baru di Omnibus Law tersebut tentang cuti haid dan hamil hilang, karena dibuat untuk tidak bisa dilaksanakan. Jelas aturan ini bertentangan dengan konvensi ILO yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beberapa waktu lalu.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan, meski dalam UU Cipta Kerja ketentuan cuti dan hak upah atas cuti tak dicantumkan, namun bukan berarti dihapus.

"Kalau tidak ada ketentuannya bukan berarti tidak ada upahnya. Namanya cuti upah itu sudah pasti ada, kan cuti namanya. Saya bukan membela ini. Kita harus objektif. Kalau sesuatu yang belum jelas jangan ditafsirkan secara sepihak," paparnya.

Namun, ia menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tak memberikan penegasan kepada masyarakat sebelum UU Cipta Kerja disahkan untuk mengantisipasi gejolak di masyarakat.

"Persoalannya itu adalah sudah muncul ketidakpercayaan. Walaupun ketidakpercayaan itu didasarkan kepada informasi yang belum sepenuhnya terkonfirmasi. Nah ini tantangannya jadi berat. Karena pemerintah tidak mengantisipasi sejak awal, permasalahan komunikasi ini tidak diantisipasi sejak awal," jelas Piter.

Ia menuturkan, jika ketentuan cuti hamil dan melahirkan, serta haid tetap berlaku sesuai aturan yang ada sebelumnya, seharusnya pemerintah dan DPR bersama-sama memberikan penjelasan konkret.

"Kalau memang pemerintah pede itu penjelasannya. Kenapa itu tidak dibangun saluran-saluran komunikasi untuk menyampaikannya kepada publik? Dan seharusnya dilakukan sebelum geger sekarang ini, kegaduhan sekarang ini, seharusnya sudah diantisipasi. Sudah terlambat, tapi ya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," urainya.

Senada dengan Piter, Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam juga menyayangkan sikap pemerintah dan DPR RI yang belum kunjung memberikan penjelasan kepada publik. Hal itu dibuktikan dengan belum dikeluarkannya draft final UU Cipta Kerja setelah pengesahan, namun masih dalam bentuk draft final RUU.

"Gerakan buruh memandang UU Ciptaker memang cuti haid dan hamil tidak berubah, tapi tidak dibayar. Itu yang membuat pekerja marah, beban perusahaan diringankan, sedangkan beban buruh beratkan. Tapi lagi-lagi, ini kan ada kesimpangsiuran, faktanya Baleg (Badan Legislasi) DPR belum merilis draft akhir RUU Ciptaker yang versi final pasca pengesahan di Paripurna DPR kemarin. Alasan Baleg, 'masih diperbaiki'," terang Umam.

Ia mempertanyakan alasan pemerintah dan DPR RI masih enggan menjelaskan secara detail untuk meredam amarah publik.

"Jika DPR mengklaim aturan yg termaktub dalam UU Cipta Kerja sudah benar, Kenapa DPR lebih memilih menghilang dari Senayan atas nama reses? Kenapa mereka tidak mau jelaskan langsung untuk meredam pergerakan buruh dan mahasiswa? 

“Presiden juga begitu, memilih menghilang dan menghindar dengan pergi ke Solo dan Palangkaraya? Kalau Presiden mau berpikiran strategis dan jujur ke kaum pekerja, cukup temui dan minta para menterinya jelaskan pasal-pasal kontroversial itu kalau memang sudah mengakomodir aspirasi buruh," tegas Umam.

Sementara itu, Anggota Baleg dari fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, ketentuan cuti hamil dan melahirkan, serta cuti haid masih berlaku sesuai UU 13/2003.

"Sejauh yang kami pahami, semua tetap berlaku, dengan paradigma hubungan kerja bercorak kemitraan, bukan belas kasihan. Itu sebabnya lebih sehat dan rasional," kata Hendrawan ketika dihubungi.

Hal itu juga tertuang dalam dokumen butir-butir penjelasan RUU Cipta Kerja yang berbunyi:

1. Pengusaha tetap wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja/buruh.
2. RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Hendrawan menegaskan, ketentuan hak upah atau gaji selama cuti itu juga masih berlaku sesuai UU Ketenagakerjaan. Namun, untuk ketentuan rincinya akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Masih. Detailnya nanti dalam PP," pungkas Hendrawan.

Related

News 2184001399492426002

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item