Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki (Bagian 1)

Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki

Naviri Magazine - Hanya dalam hitungan menit setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja, Senin (5/10/2020) lalu, 35 investor asing mengirim surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia.

“Selagi kami menilai perlunya reformasi aturan terkait berusaha di Indonesia, kami memiliki kekhawatiran mengenai dampak negatif pada perlindungan lingkungan hidup yang disebabkan Omnibus Law Cipta Kerja,” tulis Senior Engagement Specialist Robeco, Peter van Der Werf.

Robeco adalah satu dari 35 investor yang menyuarakan kritik lewat surat tersebut. Reuters mencatat total aset yang dikelola oleh 35 investor itu mencapai 4,1 triliun dolar AS. Selain perkara lingkungan hidup, mereka juga menyorot perubahan kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, sistem informasi, hingga ketenagakerjaan.

Kepala Badan Koordinasi Penanganan Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menanggapi enteng protes tersebut. Dia justru mencibir 35 investor itu tak menanamkan modal di Indonesia lewat skema Foreign Direct Investment (FDI).

“Saya ingin katakan setelah kami cek 35 perusahaan tidak terdaftar di BKPM sebagai perusahaan yang investasikan dananya di Indonesia atau FDI,” kata dia dalam konferensi pers.

Kendati kelompok investor itu tidak menanam investasi lewat skema FDI, bukan berarti mereka tidak penting. Mereka tetap tercatat sebagai investor yang menanamkan modal lewat portofolio, seperti obligasi hingga surat utang negara. Artinya, protes mereka ini justru lebih berbahaya karena mereka tak terikat oleh perjanjian dengan Pemerintah Indonesia dan bisa pergi kapan saja.

Pemerintah Indonesia yang menyadari hal itu lantas memilih menghindari polemik dengan membalas surat terbuka para investor pada Selasa (13/10/2020). Dalam surat balasan itu, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menyebut keprihatinan para investor tersebut “dapat dipahami, tapi tidak beralasan.”

“Undang-undang tersebut, serupa dengan banyak mitra dagang kami, dimaksudkan untuk memberikan kerangka kerja legislatif untuk mendorong pembangunan ekonomi, perdagangan dan investasi sambil menyeimbangkan masalah lingkungan, memenuhi keseluruhan kebutuhan ekonomi dan aspirasi sosial masyarakat Indonesia,” tulis Mahendra.

Namun, jawaban Pemerintah tersebut justru tampak kontradiktif dengan tindak sikapnya sendiri.

Masalah Kualitas Investasi

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga mengkhawatirkan dampak UU Cipta Kerja terhadap lingkungan. Salah satu sumber kerisauannya adalah perkara “penyederhanaan” analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Dalam hal ini, Pemerintah tampak membarter kelestarian lingkungan hidup dengan kemudahan berbisnis.

“Justru [Omnibus Law] akan memungkinkan investor yang bergerak di bidang energi terbarukan semakin berkurang karena pemerintah mengesampingkan isu lingkungan,” kata Bhima.

Aturan yang dimaksud Bhima adalah Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal itu memuat perubahan ketentuan Pasal 26 ayat 2 UU No. 32/2009 yang berbunyi, “Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”

Padahal, sebelumnya, UU No. 32/2009 menetapkan bahwa pembuatan dokumen Amdal harus melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup, dan pihak yang terpengaruh oleh keputusan dalam proses Amdal. Karena itu, perubahan ketentuan itu berpotensi mengebiri partisipasi publik yang lebih luas.

Indikasi mengurangi partisipasi publik juga tampak dalam ketentuan baru Pasal 24 ayat 2. Ketentuan baru ini menyebutkan bahwa uji kelayakan lingkungan kini menjadi wewenang tim bentukan Pemerintah Pusat. Sebelumnya, UU No. 32/2009 Pasal 29 menentukan bahwa dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota.

Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri menilai UU Cipta Kerja sebenarnya tidak mendesak. Ia dibuat untuk menarik investasi besar-besaran, padahal kuantitas investasi bukanlah permasalahan buat Indonesia.

Data BKPM menyebutkan bahwa investasi di Indonesia—baik lewat skema Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)—terus naik dalam satu dekade belakangan. Pada 2019, misalnya, realisasi investasi Indonesia mencapai Rp809,6 triliun. Capaian itu melampaui target minimal Rp792 triliun yang dipatok Pemerintah.

Bila ditarik ke periode 2015-2019—alias periode pertama Jokowi berkuasa, pertumbuhan realisasi investasi tahunan Indonesia telah melambung 48,4 persen. Data itu menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia pada dasarnya baik-baik saja. Menurut Faisal, masalah utama Indonesia sebenarnya menitik pada kualitas investasinya.

Baca lanjutannya: Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki (Bagian 2)

Related

News 7477839732920080195

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item