Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki (Bagian 2)

Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh dan Memanjakan Oligarki - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kualitas investasi yang buruk membuat statistik mentereng itu seolah tak terasa dampaknya. Hal itu tergambar dari buruknya peringkat kemudahan berbisnis (EODB) Indonesia. Pada 2020, Bank Dunia mencatat Indonesia masih berada di peringkat 73 dunia. Di ASEAN, Indonesia bahkan masih tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam.

“Ibarat anak di usia pertumbuhan yang dapat asupan bergizi, tapi mengapa berat badannya tidak naik? Boleh jadi banyak cacing di perut anak itu,” papar Faisal.

“Cacing” yang dimaksud Faisal ialah korupsi, praktik antipersaingan dalam proyek-proyek Pemerintah yang dilimpahkan ke BUMN, hingga minimnya perencanaan pembangunan. Ironisnya, UU Cipta Kerja justru tidak punya pasal yang mengatur bagaimana membasmi “cacing” itu.

Menguntungkan Oligarki

Alih-alih mengatasi buruknya kualitas investasi, Omnibus Law Cipta Kerja justru berpotensi besar merampas kesejahteraan buruh—kaum yang seharusnya diuntungkan oleh terciptanya lapangan pekerjaan hasil dari datangnya investasi.

Dalam catatan, setidaknya ada empat perubahan ketentuan pasal dalam UU Cipta Kerja yang paling merugikan buruh. Di antaranya pasal 88B tentang penetapan upah, dihapusnya ketentuan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan tentang kesepakatan pengupahan, perubahan ketentuan tentang jangka waktu PKWTT, serta Pasal 77 tentang ketentuan waktu kerja.

Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan buruh akan terus menyuarakan protes sampai desakan mereka didengar.

“Ke depan aksi penolakan Omnibus Law oleh buruh akan semakin membesar dan bergelombang,” kata Said dalam keterangan tertulis.

Said juga mengatakan bahwa buruh tak punya niatan mengikuti ajakan pemerintah untuk ikut berdiskusi dalam pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) turunan Omnibus Law. Sejak awal, kelompok-kelompok buruh telah kompak menolak beleid tersebut. Mereka juga kecewa karena evaluasi mereka terhadap draf Omnibus Law tak digubris.

Maka itu, mustahil mereka bisa dilunakkan oleh janji-janji pemerintah yang selama ini hanya manis di awal.

“Buruh menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan demikian tidak mungkin buruh menerima peraturan turunannya. Apalagi terlibat membahasnya."

Lalu, bila sebagian investor merasa keberatan dan buruh merasa dirugikan, siapa yang paling untung dengan adanya UU Cipta Kerja? Tidak lain adalah pengusaha-pengusaha kelas kakap yang bergerak di industri padat modal.

Salah satu beleid yang menyiratkan kecenderungan tersebut adalah Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Pasal 66 ayat 2 yang baru mengatur bahwa perlindungan, upah, syarat kerja, hingga perselisihan pekerja outsourcing menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, bukan pengusaha yang memanfaatkan jasanya. 

Kondisi ini dikhawatirkan akan mempermudah pengusaha untuk lepas tangan terhadap kesejahteraan pekerja alih daya.

Di saat bersamaan, pengusaha industri padat modal itu juga diuntungkan oleh potensi semakin mudahnya perizinan Amdal. Terlebih, catatan BKPM menunjukkan bahwa sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan termasuk dalam sepuluh besar bidang dengan realisasi investasi terbesar dalam triwulan I/2020--baik dari skema PMDN maupun PMA.

Mirisnya, sektor-sektor yang akan menikmati dampak positif Omnibus Law itu justru termasuk sektor yang identik dengan para pencipta regulasi.

Laporan Tempo dan Auriga Nusantara pada 2019 silam menunjukkan bahwa 262 (45,5 persen) dari total 575 anggota DPR yang terpilih dalam Pemilu Legislatif 2019 adalah para direksi dan komisaris di lebih dari 1000 perusahaan ternama.

Semakin miris lagi bila melihat komposisi partainya. PDIP (57), Golkar (48), Gerindra (41), NasDem (21) dan PKB (26) adalah partai-partai yang terbanyak mengirim pengusaha ke gedung parlemen. Pun mereka adalah para pendukung Omnibus Law Cipta Kerja.

Hanya NasDem (21), PAN (18) dan PPP (6)--juga pendukung UU Cipta Kerja—yang punya keterwakilan pengusaha lebih rendah ketimbang dua partai penolak Omnibus Law, Demokrat (23) dan PKS (22).

Jika menilik catatan tersebut, wajar bila muncul anggapan bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh Omnibus Law Cipta Kerja adalah oligarki penyokong Pemerintah.

Related

News 2085328168743966434

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item