Canggihnya Teknologi Google di Balik Search Engine, Gmail, hingga YouTube (Bagian 1)


Naviri Magazine - "Ketika Sergey (Brin) dan Larry (Page) mendirikan Google pada 1998, mereka menjalankan perusahaan ini dengan prinsip yang sederhana," tutur Eric Schmidt, Chief Executive Officer pertama sekaligus "adult advisor" Google, dalam buku berjudul How Google Works (2015). 

Prinsip sederhana itu, Google hanya ingin membuat penggunanya senang, yakni dengan membuat produk yang benar-benar hebat.

"Ketika Google memberikan produk hebat, uang akan datang dengan sendirinya," tulis Schmidt, yang kini bertindak serupa Bill Gates di Microsoft, yakni Penasehat Teknis untuk Alphabet, induk usaha Google.

Untuk membuat produk hebat, lagi-lagi, Google memanfaatkan strategi yang sederhana, yakni merekrut teknisi software sebanyak-banyaknya. Lalu, teknisi-teknisi ini diberi kebebasan untuk bekerja. Untuk mengatur teknisi yang banyak tersebut, Google hanya mengandalkan spreadsheet, Microsoft Excel. Tak lupa, tiap Jumat sore, teknisi-teknisi ini berkumpul untuk mendiskusikan segala hal tentang Google.

Di satu sisi, cara kerja sederhana ala Google ini memang menyenangkan. Di sisi lain, tulis Schmidt, "tidak ada perencanaan jangka panjang dalam tubuh Google. Jika ada insiden, misalnya, para insinyur dipaksa cepat-cepat memikirkannya". 

Salah satu insiden yang dikhawatirkan Schmidt adalah soal server. Schmidt khawatir mesin yang menghidupkan Google tiba-tiba mati, sementara mereka terlalu sibuk memikirkan produk.

Di usia belia Google, ucapan Schmidt terbukti. Google memiliki rasio kegagalan server antara 4 hingga 10 persen. Bagi perusahaan yang ingin membuat penggunanya bahagia, ini jelas berbahaya.

Sebelum Google manjadi Google (yang kita kenal saat ini), Google tak ubahnya startup biasa. Untuk beroperasi, Google menempatkan server-server miliknya di fasilitas milik perusahaan lain (colocation). 

Steven Levy, dalam buku berjudul In The Plex: How Google Thinks, Works, and Shapes Our Lives (2011), menyebut bahwa hingga 1999, Google menyewa tempat bagi server miliknya di Exodus, perusahaan colocation yang berlokasi di San Jose, California, Amerika Serikat. 

Masalahnya, karena Google menjadi startup yang produknya sangat digemari warga maya--hingga membuat kebutuhan komputasi dan data selalu bertambah--Exodus menyebut bahwa Google adalah klien-nya yang paling resek.

Google selalu menambah server di Exodus. Tak tanggung-tangguh, karena tempat miliki Exodus terbatas, Google memaksakan server yang kian menggunung di satu lokasi sempit. Bagi Exodus, ini berbahaya. Server-server yang berhimpitan dan terus menyala 24 jam itu menghasilkan panas yang berlebih. Jika ini terjadi, pelanggan Exodus lain kena batunya. 

Masalahnya, dengan menempatkan sangat banyak server di lokasi Exodus, Exodus ketiban untung dari Google. Tercatat, Google memiliki lebih dari 300 server yang ditempatkan di Exodus, jauh lebih banyak dibandingkan klien-klien lain.

Tentu, bagi Google, bergantung pada perusahaan lain adalah masalah besar. Maka, untuk mengatasi masalah ini Google kemudian "membajak" Jim Reese, salah satu karyawan kunci Exodus, guna mengepalai proses penciptaan pusat data, bukan hanya tempat penyimpanan server tetapi juga menciptakan server sendiri yang terbebas dari perusahaan pihak ketiga mana pun. 

Masih merujuk buku yang ditulis Levy, Brin dan Page meminta Reese untuk membuat pusat data yang dapat menampung 50.000 server--dan membuat sendiri semua 50.000 server itu. Kata Reese, "Google ingin memastikan layanan-layanan mereka dapat berkembang secara massif saat ini hingga bertahun-tahun mendatang".

Ya, hari ini Google adalah salah satu perusahaan terkaya di dunia. Namun, di awal 2000-an, keuangan Google masih seret. Maka, untuk dapat menciptakan ribuan server, tutur Reese, "Google merakit server-nya dari modul-modul murahan." 

Douglas Merrill, salah satu karyawan pertama Google, bahkan menyebut bahwa server-server yang diciptakan perusahaannya kala itu "berkualitas lebih rendah dibandingkan komputer bocah".

Karena penggunaan modul murahan ini, Reese memperkirakan server-server Google akan memiliki rasio kegagalan yang tinggi. "Beruntung," kata Levy, "Google memiliki sangat banyak insinyur bertitel Ph.D". 

Guna meminimalkan rasio kegagalan server, Google memerintahkan Jeff Dean, Doktor Ilmu Komputer lulusan University of Washington, dan Sanjay Ghemawat—yang menulis disertasi berjudul "The Modified Object Buffer: A Storage Management Technique for Object-Oriented Databases" (1995) di Massachusetts Institute of Technology—untuk memikirkan masalah ini. 

Tak lama, Dean dan Ghemawat menciptakan "The Google File System", suatu software yang dirancang untuk mendistribusikan kata kunci yang diketik pengguna ke banyak server atau "sharding data". 

"Jika penelusuran Google meminta informasi tertentu di satu server dan tidak mendapatkan balasan setelah beberapa milidetik, ada dua server Google lain yang dapat memenuhi permintaan tersebut."

Ketika Exodus bangkrut, Google membeli salah satu fasilitas milik perusahaan tersebut. Masalahnya, ucap Urs Hölzle, salah satu teknisi pertama Google, bekas fasilitas milik Exodus itu "menyia-nyiakan listrik, karena praktek yang buruk dan bangunan buruk". 

Maka, sejak pertengahan 2003, Google membangun fasilitas pusat data di kota bernama The Dalles. Pemilihan The Dalles dilakukan karena kota itu masih memiliki lahan kosong yang luas serta berpenduduk kecil. Namun, yang paling utama, sebagaimana diungkap Chris Sacca, salah satu karyawan pertama Google lainnya, "The Dalles memiliki bandara kecil yang pas untuk menampung hobi Schmidt di bidang aviasi".

Dengan ribuan server yang ditempatkan di fasilitas milik sendiri, ada masalah lain menimpa Google, yakni mahalnya ongkos internet yang harus dibayar. Kala itu, Google harus merogoh kocek senilai USD 250.000 (sekitar Rp3,5 miliar) per bulan untuk berlangganan internet. 

Baca lanjutannya: Canggihnya Teknologi Google di Balik Search Engine, Gmail, hingga YouTube (Bagian 2)

Related

Technology 5892604237494214408

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item