Media Sosial, Sarana Berteman dan Bersenang-senang yang Kini Jadi Arena Perang



Naviri Magazine - Pada pertengahan Oktober lalu, penulis opini Charlie Warzel melakukan semacam observasi kecil-kecilan. Warzel meminjam akun Facebook milik dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dia lalu mengamati lini masa kedua orang itu selama tiga minggu menjelang dan setelah hari coblosan Pemilu Amerika Serikat 2020.

Dua orang itu, Jim Young (62 tahun) dan Karen Pierce (55 tahun), bukanlah tokoh penting di Amerika. Mereka hanya warga biasa dari generasi baby boomers—orang-orang yang lahir pada periode 1946 hingga 1964, selepas Perang Dunia II berakhir. Lantas, untuk apa Warzel meminjam akun Facebook mereka?

“Saya ingin membenamkan diri dalam lini masa dari tipe orang yang telah menjadi semacam kiasan dalam diskursus tentang politik dan disinformasi: baby boomer dan kaitan mereka dengan polarisasi di media sosial,” tulis Warzel dalam opininya untuk The New York Times.

Young dan Pierce sama-sama mengidentifikasi dirinya sebagai kalangan konservatif yang perlahan-lahan menjadi seorang kiri kala Donald Trump menguasai Partai Republikan. Dalam pemilu kemarin, keduanya memilih Joe Biden dan mengaku muak dengan keadaan politik saat ini.

Tatkala menyelami akun Facebook kedua orang tua itu, Warzel menemukan konten-konten campur-baur dari soal kehidupan kelas menengah Amerika hingga propaganda politik. 

Sekali menggulirkan newsfeed milik Young, Warzel mendapati seseorang berbagi foto-foto bayi yang menggemaskan. Pada guliran berikutnya, dia menemukan meme Joe Biden lengkap dengan tanda "dijual" dan "Untuk informasi lebih lanjut hubungi Hunter (anak Joe Biden)”.

Digulir lebih jauh, Warzel menemukan meme lain bertuliskan "Kala sosialisme hadir di kotamu" disertai kumpulan foto yang menampilkan bangunan terbengkalai, rumah sakit yang hancur, dan pertokoan tanpa stok barang. Sebagai kontras, terpampang puri megah dengan tulisan “Inilah politisi sosialis kalian”.

Dari semula membuat akun Facebook untuk terhubung dengan kawan-kawan lama dan bernostalgia, Young dan Pierce kini menyadari lini masa dan kolom komentar berubah jadi ajang pertengkaran. 

Kepada Warzel, Young mengaku tidak suka memeriksa fakta dari konten teman-temannya atau terlibat dalam perdebatan. Tapi, ada kalanya juga Young tahu sebuah konten menghadirkan fakta yang tidak benar dan dia pun tergerak untuk mengatakan sesuatu.

“Sering kali tidak ada debat yang nyata. Hanya amarah saja. Pikiran mereka cupet banget. Terkadang, itu membuatku takut," kata Young kepada Warzel.

Sementara itu, Pierce menyadari dirinya mulai tak nyaman dengan isi lini masanya. Dia lalu memutuskan untuk tidak membukanya selama tiga bulan. Kabar buruk soal politik, pandemi, dan pertengkaran di Facebook membuatnya frustrasi

"Kupikir itu memengaruhi suasana hati semua orang," tutur Pierce kepada Warzel.

Boomer dan Media Sosial

Seturut data statistik, sekira 23 persen populasi Amerika adalah generasi baby boomer seperti Young dan Pierce. Generasi ini lazim dianggap gaptek dan cenderung konservatif. 

Sebagaimana ditulis Louis Leung dalam “Generational Differences in Content Generation in Social Media” yang terbit di jurnal Computers in Human Behavior (2013), kalangan boomer lebih terpaku pada televisi sebagai medium informasi dan hiburan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, para boomer pun perlahan beralih medium. Kini, mereka juga menggunakan internet untuk tetap terhubung dengan kawan dan keluarganya. Terlebih, di masa pandemi seperti sekarang ini.

Hanna Kozlowska dalam laporannya untuk Quartz menyebut, pengguna Facebook dari kalangan boomer mengalami peningkatan hingga dua kali lipat selama rentang 2012-2019. Paling tidak, 37 persen populasi boomer di Amerika kini telah memiliki akun Facebook.

Jadilah mereka ikut terpapar konten-konten berisi informasi sesat, terlebih pada masa-masa jelang pemilu. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa media sosial merupakan medium terbaik bagi para politisi untuk memperoleh dukungan. Bahkan, dengan cara-cara konyol.

Pada 2016, misalnya, Cambridge Analytica mengiklankan keunggulan Trump dan kelemahan Hillary Clinton di Facebook. Dengan dana sejuta dollar, iklannya bisa muncul setiap hari. Kontennya pun sudah dipersonalisasi dengan memanfaatkan data pengguna Facebook. Data-data itu diraup tanpa persetujuan pengguna melalui aplikasi bernama The One Click Personality Test.

Tak hanya itu, Cambridge Analytica juga menyedot data-data dari lingkar pertemanan si pengguna aplikasi. Tindakan itu jelas ngawur, tapi Cambridge Analytica sukses memiliki 5.000 titik data personal setiap pemilih di Amerika—termasuk dari kalangan boomer. 

Dalam Pemilu 2020 ini, pihak Facebook, Twitter, hingga Youtube telah melakukan perubahan kebijakan. Meski begitu, konten-konten berisi informasi sesat dan ujaran kebencian tetap saja membanjir.

Media sosial ditujukan untuk menghubungkan orang dan bersenang-senang. Sialnya, tujuan itu dibajak oleh kepentingan politik. Tak sekadar penghubung antarsesama, media sosial rupanya cukup efektif untuk menyebarkan pengaruh. Entah para pendiri platform itu menyadari potensi ini atau tidak di awal pengembangannya, yang jelas mereka gagal menyelamatkan penggunanya.

Related

News 2697715983643774276

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item