Mengapa Orang Indonesia Suka Ngomong 'Sabar Ya', Saat Mengomentari Masalah Orang Lain?


Naviri Magazine - Budaya Indonesia, menurut pakar komunikasi, mengedepankan konteks dan basa-basi. Tapi tak semua orang curhat atau berkeluh kesah bersedia dikomentari 'sabar ya'. Adakah respons alternatifnya?

“Duh! Abis dimarahin bos nih!”

“Sabar, ya…”

“Gaji gue enggak naik, padahal udah kerja berdarah-darah.”

“Sabar, ya…”

“Sialan. Klien mendadak ganti briefing. Padahal ini udah Jumat sore.”

“Sabar, ya…”

Hampir bisa dipastikan lebih dari 250 juta penduduk Indonesia pernah mengatakan atau mendengar “sabar, ya…” sebagai respons terhadap suatu keluh-kesah. 

Tidak jelas bagaimana frasa tersebut lahir, tetapi sudah bertahun-tahun warga di negara ini memakainya, baik dalam percakapan langsung maupun lewat teks.

Apakah memang orang Indonesia menjunjung tinggi kesabaran? Menurut penelitian Gallup, sebuah lembaga survei di Amerika Serikat, negara-negara Amerika Latin mendominasi 10 besar negara yang penduduknya paling merasa positif di dunia.

Satu-satunya negara di luar kawasan itu yang masuk daftar adalah Indonesia. Ya, orang Indonesia mengaku adem-ayem alias bahagia-bahagia aja dengan kehidupan ini. Padahal, banyak keruwetan terjadi di Tanah Air. Misalnya, pada 2020, Jakarta menempati peringkat 11 dalam daftar kota dengan kemacetan paling buruk di dunia.

Di satu sisi memang kesabaran orang yang tinggal di Jakarta diuji sekali di jalanan. Di sisi lain, sering juga kita gagal melalui ujian itu. Perhatikan berapa kali pengendara sepeda motor sudah maju melewati garis penyeberangan jalan saat lampu merah masih menyala. Bahkan tak sedikit yang nyelonong.

Polda Metro Jaya mencatat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertengahan tahun ini, ada peningkatan pelanggaran lalu lintas di Jakarta. Pengendara biasanya melawan arus, melanggar marka garis melintang di lampu merah atau melintas di bahu jalan tol.

Kenapa mereka melakukannya? Ya, karena ingin cepat sampai tujuan. Ini sendiri kan sudah mengindikasikan bahwa kesabaran bukan jadi karakter kita sebagai orang Indonesia. Kalau tak percaya, coba eksperimen berikut ini:

Di Bandung, ada sebuah lampu merah yang disebut paling lama di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pengendara diwajibkan berhenti di perempatan jalan Kiaracondong-Soekarno Hatta selama 12 menit. Sedangkan durasi lampu hijau hanya 1 menit 37 detik.

Banyak warga yang kesal karena lamanya lampu merah menyala. Apakah kalau di depan mereka dipasang spanduk bertuliskan “sabar, ya…” lantas mereka jadi berhenti ngomel dan termotivasi untuk menunggu? Jangan-jangan malah mereka bakal turun dari kendaraan, lalu menyobek spanduk itu.

Contoh lain adalah ketika DPR dan pemerintah berkolaborasi mengesahkan UU Cipta Kerja, meski rakyat sudah turun ke jalan di berbagai kota untuk menolak. Bahkan, kabar Presiden Joko Widodo sudah menandatanganinya baru muncul saat hampir tengah malam.

Sikap kucing-kucingan dan tutup telinga yang tidak malu ditunjukkan oleh para pejabat negara itu tentu tidak etis jika ditanggapi: “Sabar, ya… Pemerintah dan politisi memang suka gitu.” 

Menurut Devie Rahmawati, pengajar dan peneliti tetap Komunikasi Antar Budaya di Vokasi Universitas Indonesia, kebiasaan mengatakan “sabar, ya…” itu bisa dijelaskan melalui pendekatan keilmuan.

“Orang Indonesia itu high context. Maksudnya, kita kalau ngomong tidak pernah to the point, berbeda dengan orang Barat,” tuturnya. Ini adalah bentuk budaya masyarakat Indonesia yang menolak konfrontasi saat ada situasi tidak menyenangkan. 

“Kita biasanya cenderung mengambil harmoni, seperti [berkata] ‘Oh, ya udah, sabar aja’. Kalau orang Barat kan ‘Ini kenapa?’, langsung dikejar,” imbuhnya. “Misalnya, tender enggak dapat, langsung ‘Ada masalah apa?’. Itu dibahas terus. Kalau di kita kan ‘Oh, ya sudah, sabar aja, memang belum rezeki’.”

Selanjutnya, Devie menjelaskan, orang Indonesia cenderung bersikap fleksibel di tengah ketidakpastian. Sementara orang di negara-negara Barat cenderung pencemas dengan tingkat stres tinggi sebab tak terbiasa menghadapi situasi mengejutkan. “Maka cerminannya kemudian adalah kata-kata ‘sabar, ya…’ itu,” urainya. 

Analisis berikutnya berkaitan dengan kecenderungan dekatnya faktor spiritual dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di mana, misalnya, ada kepercayaan pada Hari Akhir. Ini cukup bertolak-belakang dengan mereka yang ada di benua Amerika dan Eropa. 

“Nah, kita punya orientasi jangka panjang yang cukup tinggi. Itu juga yang membuat kita bisa sabar, karena kita melihat segala sesuatu itu enggak cuma hari ini,” kata Devie. “Itu mempengaruhi alam mental kita sehingga manifestasi diksinya selalu ada kata-kata ‘sabar, ya…’.”

Kemungkinan lain frasa ini populer, karena orang-orang tidak tahu bagaimana harus merespons sebuah keadaan yang tidak mereka alami sendiri.

Kesimpulannya, walau ternyata berkata “sabar, ya…” merupakan sesuatu yang wajar dalam budaya kita, ada juga yang menganggapnya annoying atau tanpa makna. Jadi, mungkin kita kudu lebih sensitif menggunakannya agar tidak terkesan basa-basi doang.

Related

Psychology 1698017729450572073

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item