Usut Kematian 6 Anggota FPI, Tim Independen Harus Bisa Mengungkap Secara Transparan
https://www.naviri.org/2020/12/usut-kematian-6-anggota-fpi-tim.html
Naviri Magazine - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen yang melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI.
Tujuannya untuk menyelidiki secara serius peristiwa penembakan dari aparat kepolisian yang mengakibatkan 6 anggota Front Pembela Islam meregang nyawa.
Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung didalamnya diantaranya: YLBHI, LBH Jakarta, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, LBH Pers.
Dalam kajian Koalisi Masyarakat Sipil, setiap tindakan yang diambil oleh polisi harus seusai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Desakan Koalisi Masyarakat Sipil dilatar belakangi oleh beberapa kejanggalan, salah satunya mengapa polisi sampai membuntuti FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa saat unjuk rasa.
“Alasan penembakan juga bersifat umum, yaitu “karena ada penyerangan dari anggota FPI”. Jika memang ada senjata api dari pihak FPI mengapa tidak dilumpuhkan saja?. Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula,” demikian analisa Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) dalam keterangan tertulis.
Publik, kata KMS semakin bertanya-tanya karena saat kejadian berdarah itu CCTV di lokasi kejadian tidak berfungsi.
“Tentang kronologi kejadian juga saling bertolak belakang antara FPI dan kepolisian. Tentunya kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena seringkali tidak benar,” demikian kata KMS.
KMS juga meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi.
Keterangan para saksi kejadian amat diperlukan untuk memberi informasi lengkap tentang insiden berdarah di jalan Tol Jakarta-CIkampek itu.
“Koalisi menegaskan bahwa penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain,” demikian keterangan tertulis KMS.