Jutaan Tahun Lalu, Paus Ternyata Hidup dan Berjalan di Darat (Bagian 2)

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya ( Jutaan Tahun Lalu, Paus Ternyata Hidup dan Berjalan di Darat - Bagian 1 )....


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Jutaan Tahun Lalu, Paus Ternyata Hidup dan Berjalan di Darat - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ketika timnya menemukan beberapa tulang panggul pada 1977, dengan bercanda mereka menyebutnya 'paus berjalan'—gagasan yang tidak masuk akal. Pada saat itu, fosil paus yang paling terkenal pun dianggap mirip paus modern, dengan mekanisme yang canggih untuk mendengar di dalam air, ekor kuat dengan sirip lebar, dan tanpa kaki belakang yang keluar dari tubuh.

Lalu, pada 1979, seorang anggota tim Gingerich di Pakistan menemukan tengkorak sebesar tengkorak serigala, tetapi memiliki tulang mirip layar yang menonjol—dan sangat tidak mirip serigala—di bagian atas dan samping untuk mendukung otot leher dan rahang yang kuat. Lebih aneh lagi, rongga otaknya sedikit lebih besar dari kenari. 

Kemudian, pada bulan yang sama, Gingerich menemukan beberapa spesimen paus purba dalam sejumlah museum di Lucknow dan Kolkata, India. “Saat itulah rongga otak yang kecil itu mulai masuk akal, karena paus awal memiliki tengkorak besar dan otak relatif kecil,” kata Gingerich mengenang. “Aku mulai berpikir bahwa satwa berotak kecil ini mungkin paus yang sangat awal.”

Ketika Gingerich membebaskan tengkorak itu dari bungkusnya yang berupa batu merah nan keras di laboratoriumnya, di Michigan, ia menemukan segumpal tulang padat sebesar buah anggur di dasarnya, yang disebut bula pendengaran, dengan tulang puncak berbentuk S yang disebut cuaran sigmoid—dua fitur anatomi yang khas pada paus, dan membantunya mendengar di dalam air. 

Namun, tengkorak tersebut tidak memiliki beberapa adaptasi lain yang digunakan paus modern untuk mendengar secara terarah di bawah gelombang. Ia menyimpulkan bahwa binatang tersebut mungkin semiakuatik, menghabiskan waktu cukup lama di perairan dangkal, tetapi kembali ke darat untuk beristirahat dan berbiak.

Penemuan paus yang sepanjang diketahui paling primitif tersebut—Gingerich menamainya Pakicetus—membuat Gingerich melihat paus dengan cara baru. 

“Aku mulai semakin memikirkan transisi lingkungan besar-besaran yang dialami paus,” katanya mengenang. “Makhluk ini berawal sebagai hewan darat dan berubah menjadi hewan air. Sejak itu, aku tenggelam dalam mencari berbagai bentuk transisi pada lompatan besar ini, dari daratan kembali lautan. Aku ingin menemukan semuanya.”

Pada 1980-an, Gingerich mengalihkan perhatian ke Wadi Hitan. Bersama istrinya, B. Holly Smith, yang juga ahli paleontologi, dan rekan mereka dari Michigan, William Sanders, dia mulai mencari paus dalam formasi fosil yang berusia sekitar 10 juta tahun lebih muda, dari dasar laut tempat dia menemukan Pakicetus. 

Trio itu menggali kerangka parsial dari paus yang sepenuhnya akuatik, seperti Basilosaurus dan Dorudon yang lebih kecil, panjangnya lima meter. Kedua jenis tersebut punya bula pendengaran yang besar, dan adaptasi lain untuk pendengaran bawah air; tubuh panjang dan strimlain dengan tulang punggung yang panjang; juga ekor berotot untuk menggerakkan tubuh di air dengan ayunan vertikal yang kuat. 

Kawasan itu penuh tengkorak kedua jenis paus itu. “Setelah berada di Wadi Hitan sebentar saja, orang tentu merasa melihat paus di mana-mana,” kata Smith. “Dan tak lama setelahnya, orang menyadari bahwa memang begitu adanya. Kami segera memahami bahwa kami tidak mungkin mampu mengumpulkan semuanya, jadi kami mulai memetakannya, dan hanya menggali spesimen-spesimen yang paling menjanjikan.”

Namun demikian, baru pada 1989 tim tersebut menemukan mata rantai yang mereka cari untuk menghubungkan paus ke nenek moyang daratannya, penemuan yang hampir tak sengaja. 

Menjelang akhir ekspedisi, Gingerich sedang menggarap kerangka Basilosaurus, ketika menemukan lutut paus—yang pertama diketemukan dan diketahui—pada kaki yang terletak di tulang punggung binatang itu, pada posisi yang jauh lebih ke bawah daripada yang ia duga. 

Karena kini para peneliti sudah tahu letak kaki itu, mereka memeriksa lagi sejumlah paus yang “sudah dipetakan”, dan segera menemukan tulang paha, tulang kering, dan tulang betis, serta benjolan tulang yang membentuk kaki dan pergelangan kaki paus. 

Pada hari terakhir ekspedisi, Smith menemukan satu set lengkap jari kaki nan ramping sepanjang 2,5 centimeter. Melihat tulang-tulang kecil membuat air matanya berlinang. “Mengetahui bahwa hewan air yang begitu besar itu masih memiliki tungkai, kaki, dan jari kaki yang berfungsi, menyadari apa makna hal ini bagi evolusi paus—itu luar biasa,” ia mengenang.

Meskipun tak mampu menopang bobot tubuh Basilosaurus di darat, kaki-kaki itu masih ada fungsinya. Kaki itu dapat ditempeli otot yang kuat, juga memiliki sendi pergelangan yang berfungsi, dan mekanisme penguncian yang rumit di lutut. 

Gingerich berspekulasi bahwa kaki paus berperan sebagai perangsang atau pemandu saat kopulasi. “Pasti sulit mengendalikan apa yang terjadi di bawah, pada tubuh panjang mirip ular itu, begitu jauh dari otak,” katanya.

Apa pun kegunaan kaki kecil itu bagi Basilosaurus, penemuannya menegaskan bahwa leluhur paus pernah berjalan, berjinjit, dan berlari di darat. Namun, identitas leluhur tersebut tetap belum jelas. 

Beberapa fitur kerangka paus purba, terutama gigi pipinya yang besar dan berbentuk segi tiga, tampak sangat mirip dengan gigi mesonychia, sekelompok karnivora berkuku dari zaman Eosen. (Andrewsarchus yang besar dan mirip dubuk, yang mungkin mamalia karnivora terbesar yang pernah hidup di darat, mungkin termasuk golongan mesonychia.) 

Pada 1950-an, para ahli imunologi menemukan ciri-ciri pada darah paus yang menyiratkan bahwa paus adalah keturunan artiodaktil, yaitu ordo mamalia yang mencakup babi, rusa, unta, dan binatang berkuku genap lainnya. Pada 1990-an, para ahli biologi molekuler yang mempelajari kode genetis cetacea telah menyimpulkan bahwa kerabat modern yang paling dekat dengan paus adalah satu binatang ungulate tertentu, yaitu kuda nil.

Gingerich dan banyak ahli paleontologi lainnya lebih yakin pada bukti nyata di tulang daripada perbandingan molekul satwa modern. Mereka percaya paus adalah keturunan mesonychia. Namun, untuk menguji teori tersebut, Gingerich perlu menemukan satu tulang tertentu. 

Tulang pergelangan kaki atau astragalus adalah unsur paling khas pada kerangka artiodaktil, karena berbentuk katrol-ganda yang tidak lazim dengan galur yang jelas di bagian atas dan bawah tulang, seperti galur pada roda katrol yang menyangga tali. 

Dengan bentuk seperti itu, artiodaktil memiliki daya pegas dan kelenturan yang lebih besar, daripada bentuk katrol tunggal yang ditemukan pada satwa berkaki empat lainnya (paus modern tentu saja tidak membantu, karena sama sekali tidak punya tulang pergelangan kaki).

Kembali ke Pakistan pada 2000, Gingerich akhirnya melihat pergelangan kaki paus untuk pertama kalinya. Mahasiswa pasca sarjana di timnya, Iyad Zalmout, menemukan sebuah tulang bergalur di tengah sisa-sisa seekor paus berumur 47 juta tahun yang baru ditemukan, yang kemudian dinamai Artiocetus. Beberapa menit kemudian, ahli geologi Pakistan, Munir ul-Haq, menemukan tulang yang serupa di situs yang sama. 

Baca lanjutannya: Jutaan Tahun Lalu, Paus Ternyata Hidup dan Berjalan di Darat (Bagian 3)

Related

Science 602317727754091320

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item