Kisah Disc Tarra, Toko Kaset dan CD Musik yang Kini Tinggal Nostalgia


Naviri Magazine - Generasi 90an sampai 2000an pasti tak asing dengan toko kaset dan CD Disc Tarra. Yes, sebelum booming download musik digital sampai Spotify, Disc Tarra jadi tempat gaul anak muda untuk membeli kaset, CD dan perlengkapan musik.

Pada akhir 2015, toko kaset dan CD paling lengkap itu mengumumkan diri menutup tokonya di seluruh Indonesia. Banyak kabar berembus jika kepergian Disc Tarra terjadi karena ia kalah melawan persaingan penjualan musik di era digital.

Apakah iya digital dan layanan musik streaming benar-benar menggilas industri CD musik dan kaset?

Wirawan Hartawan yang merupakan pimpinan tertinggi di Disc Tarra menceritakan penyebab penutupan toko-tokonya bukan karena Disc Tarra kalah saing.

Dia menyebut jika penutupan merupakan keputusan pribadi dan keluarganya. "Waktu Disc Tarra tutup, itu memang keputusan saya sendiri," ujarnya di bilangan Tangerang, belum lama ini.

Wirawan menceritakan saat 2015 Disc Tarra masih memiliki 238 cabang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tapi keputusan menutup memang harus dieksekusi, pasalnya pabrik suku cadang mesin yang biasa dia gunakan untuk duplikasi CD dan berasal dari Eropa sudah bangkrut. Tak ada lagi yang memasok kebutuhan suku cadang mesin tersebut.

Hingga mesin yang dimiliki tinggal 3 unit, itu pun hasil kanibal dari mesin yang lain. "Jadi saya pikir, kalau masih kontrak sama mal itu kan 5 tahun, mesin ini bisa tahan nggak 5 tahun lagi? Kalau saya kontrak tapi tidak produksi, mau jualan apa? Sewa harus bayar, pegawai bayar, listrik bayar. Ada di mal tapi nggak ada CD-nya," ujarnya.

Nah dari situ dia memutuskan untuk tak melanjutkan kontrak-kontrak dengan mal dan menutup toko. Dia menegaskan Disc Tarra tutup bukan karena kerugian, walaupun berita yang beredar seperti itu.

Ayah tiga anak ini menyebutkan jika dirinya mendapatkan berkah dari Tuhan dalam proses ini. "Saya kan harus PHK, kasih pesangon dengan aman dan tidak macam-macam, kan hidup orang jangan diapa-apain. Saya berusaha mengenalkan ke teman-teman agar pegawai dapat pekerjaan, pertama masalah selesai, orang selesai dan toko selesai," imbuh dia.

Setelah masalah tersebut selesai, dia membereskan masalah pabrik yang juga harus ditutup. Karena tidak adanya suku cadang hingga tak ada lagi produksi. Dengan sisa simpanan, Wirawan mengungkapkan menyiapkan diri untuk dunia yang baru.

"Kalau saya waktu itu nggak tutup, coba bayangkan hari ini mal buka nggak? Harus bayar sewa nggak? Tahun lalu berapa banyak restoran yang ramai pun nggak kuat. Apalagi musik, anak saya saja sudah nggak beli CD, beli Spotify Rp 50 ribu saya bisa dengarkan dari seluruh dunia, Tuhan kasih berkat, lu tutup!" imbuhnya.

Usai penutupan Disc Tarra, bukan berarti masalah Wirawan selesai. Dia didatangi oleh banyak penyanyi yang mencurahkan perasaan dan komplain terkait tutupnya Disc Tarra. Banyak penyanyi yang merasa kehilangan dan sedih karena tak ada lagi tempat untuk menjual album fisiknya.

Padahal menurut Wirawan, Indonesia saat itu adalah negara terakhir yang masih menjual CD, selain Jepang dan India. Memang berbeda dengan Jepang yang warganya masih setia mendengarkan musik-musik dalam negeri sehingga masih mensupport dengan membeli CD asli.

"Kalau orang Indonesia terbalik, mereka nggak mau beli CD Indonesia, maunya download, ya CD marketnya turun, playernya nggak laku, ya jadi bunuh diri sendiri. Kalau lihat ke depannya seperti itu ya buat apa? Lebih baik siapkan untuk dunia yang baru," jelas dia. 

Saat penutupan masih ada jutaan keping CD album yang tersimpan di gudang. Namun kini, kepingan tersebut dia musnahkan karena ingin menutup cerita lama dan memulai dengan cerita baru.

Setelah menutup Disc Tarra, Wirawan mengaku sampai bengong dan linglung. Dia menduga hal itu terjadi akibat post power syndrom. Hal ini karena kebiasaanya berubah 180 derajat dari yang biasanya berteman dengan artis, penyanyi, punya pegawai, berada di organisasi besar. Tiba-tiba sendirian, tak punya gaji. Dia bahkan sempat kebingungan ke depan harus melakukan apa.

"1 Januari 2016 saya sudah nggak ada pegawai yang ikut saya. 1.800 pegawai hilang semua loh. Ini gue makan pakai apa, nggak ada gaji, nggak ada PT, listrik gue bayar pakai apa ya? Bengong nggak ada bisnis baru," jelasnya.

Kemudian dia ingat, jika dirinya sedang membangun laboratorium sayuran, cikal bakal Hydrofarm. Di tempat usaha barunya ini, Wirawan mengungkapkan ada sekitar 20 orang pegawai Disc Tarra.

Para pegawai tersebut merupakan yang paling loyal kepada Disc Tarra dan sudah tak memiliki skill dan terbentur usia. "Kalau dulu store manager, sekarang farm manager saya, dulu SPG sekarang manager administratif saya. Benar-benar yang loyal dan mau ikut. Waktu itu mereka sudah nggak ada skill lagi dan umur juga kan," ujar dia.

Kini Wirawan sedang menikmati masa tua bersama sayur dan buah-buahan yang ia tanam di lahan pertanian yang berdiri di bekas pabrik CD miliknya.

Related

News 483857033953746544

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item