Kisah Orang yang Masuk Restoran Elit dengan Harga Makanan Jutaan, tapi Ternyata Tidak Doyan (Bagian 1)


Naviri Magazine - Bagaimana rasanya santapan seharga $400? Semanis penyesalan dan selezat perang antar kelas sosial.

Sejak sembilan puluh hari sebelum saya makan di Alo, mahalnya sudah terasa. Saya perlu memesan meja tiga bulan sebelumnya dan itu pun saya cuma dapat slot pada pukul 9 malam di hari Selasa. Selain itu, saya perlu menyisihkan $50 untuk deposit (tidak dapat dikembalikan); situsweb restoran menjelaskan bahwa deposit ini akan membantu memastikan “pengalaman menyeluruh” pengunjung dan bisa digunakan untuk membayar tagihan.

Alo, berlokasi di tengah kota Toronto, dianggap sebagai salah satu restoran terbaik di Kanada. Menu mereka yang musiman dan terinspirasi Prancis itu telah memenangkan sejumlah pujian dan penghargaan. Pengulas menyebut restoran ini sebagai benteng pertahanan bagi santapan mewah, dan makanan serta suasananya sebagai ekstravaganza kuliner.

Saya memesan meja di Alo untuk membuat pacar saya terkesan. Pada salah satu kencan pertama kami, saya bertanya pada Sarah sebuah pertanyaan khas pendekatan—apa yang selalu ingin kamu coba?—dan dia menyebut restoran ini. 

Seorang kawannya, seingat saya seorang produser, baru-baru ini mengunjungi Alo dan mengunggah foto-foto pengalamannya ke Instagram. Sarah bilang restoran ini tampak seperti mimpi. Dia berkelakar soal amuse-bouche dan saya pura-pura paham. Saat Sarah ke kamar kecil, saya menulis catatan di ponsel: kalau kencan ini sukses, bawa dia ke Alo.

Pada saat saya memesan meja di Alo, hubungan kami sudah jalan enam bulan. Kalau saya boleh jujur, saya tidak pernah benar-benar nyaman dengan hubungan kami. 

Sarah lebih tua beberapa tahun dari saya, dengan karir yang jauh lebih sukses dari saya. Dia telah menerbitkan karya-karya dan namanya terekam di IMDB. Dia biasanya rapat sambil minum koktail atau “power lunch.” Sementara, janji temu kreatif yang saya hadiri terakhir kali berlokasi di Taco Bell.

Saya selalu mengagumi kesuksesan Sarah, dan kesuksesannya adalah salah satu alasan saya tertarik padanya. Tapi, pencapaiannya membuatnya berteman dengan kalangan elit. Orang-orang yang punya opini tentang wine. Orang-orang yang jadi bintang tamu di sitkom-sitkom. Orang-orang yang pergi ke brunch. 

Kawan dan koleganya selalu baik pada saya, tapi terkadang bercengkrama dengan mereka membuat saya merasa seperti tiga bocah yang mengenakan satu jas. Saya bisa bergabung di meja orang dewasa tapi hanya selama tidak ada yang terlalu mengamati saya.

Saya mengompensasi perasaan itu dengan banyak cara. Terkadang caranya positif. Saya mencoba menyusulnya dengan mencari pekerjaan lepasan yang lebih baik, memasak makanan yang lebih enak, dan mencuci sprei saya secara rutin. Saya meyakinkan diri bahwa supaya hubungan ini berhasil, saya perlu menyesuaikan diri. Kali ini, penyesuaiannya berbentuk sebuah meja di restoran yang satu santapannya lebih mahal daripada uang sewa apartemen pertama saya.

Rencana awal saya adalah menjadikan makan malam ini sebagai kejutan. Sebuah kado ulang tahun untuknya dan saya senang membayangkan masuk ke restoran top dengan kasual saja, seakan-akan bukan hal penting. Tapi karena saya tidak mahir menunda kenikmatan, saya mengirimi pacar saya surel konfirmasi sesaat setelah saya menerimanya. 

Sarah girang luar biasa. Seharian penuh dia bertanya soal bagaimana saya bisa dapat meja dan membagi anekdot-anekdot soal menu makanan restoran itu. Saya tahu ini adalah langkah tepat.

Selama beberapa bulan selanjutnya, Sarah mengantisipasi makan malam kami dengan membaca-baca ulasan soal Alo. Dia membaca artikel-artikel soal juru masak di sana dan memandangi foto-foto restorannya di internet. 

Saat kumpul bareng kawan-kawannya, dia menceritakan soal rencana makan malam kami. Orang-orang menanggapinya seakan-akan makan di Alo adalah sebuah pencapaian—mengangguk-angguk dan mengucapkan selamat atas pengalaman yang tak akan terlupakan.

Meski saya menghabiskan bertahun-tahun bekerja di restoran, saya tidak pernah benar-benar paham daya tarik fine dining. Rasanya asing saja, seperti bukan untuk saya. Tapi ya, antusiasme Sarah menular juga pada saya. 

Pada suatu siang saat bermalas-malasan di kantor saya membaca laman restoran tersebut di Yelp. Para pengunjung menggunakan kata-kata seperti divine, exciting, dan innovative. Mereka menjanjikan santapan terbaik dalam hidup saya. Saya percaya.

Setiap beberapa hari Sarah dan saya akan bertukar infromasi soal Alo. Eh, katanya kita bisa milih warna serbet kita lho! Aku dengar daging di sana berumur 60 hari! Terus masa ada tiga ronde penutup! Saat malam yang ditunggu-tunggu tiba, rasanya kami seakan telah melakukan segalanya di Alo, kecuali, tentu saja, makan di sana.

Alo berlokasi di lantai tiga gedung bergaya Victoria pada bagian ujung selatan pecinan Toronto. Kalau kamu tidak mencari tahu terlebih dahulu, kamu tak akan tahu. Satu-satunya tanda restoran ini adalah papan metal di samping pintu masuk. 

Saat saya dan Sarah masuk ke lobi, seorang penyambut tamu berdiri di samping elevator berwarna biru. Kami bilang padanya, kami sudah pesan meja. Dia tersenyum memamerkan gigi putihnya yang tertata, lalu menyapa kami dengan nama depan. “Graham, Sarah, selamat datang! Kami senang sekali kalian bisa bergabung!” 

Saya menyikut Sarah pelan. Kami naik elevator dan memasuki restorannya. Dekorasi di Alo minimalis dan modern, seperti realisasi katalog Crate & Barrel (IKEA buat orang yang mikir). Rasanya seperti berada di lokasi syuting.

Seorang pegawai mengantar kami ke sebuah meja. Kami duduk dan saya kegirangan saat ditawari berbagai warna serbet. Saya memilih warna biru, Sarah memilih warna ungu, dan kami memesan minum. 

Saya memandang ke seberang meja dan bersyukur bahwa saya berkencan di sini dengan dia. Lalu ponsel Sarah berdering. Urusan kantor; ada keputusan mendesak yang tidak bisa ditunda. Dia meminta maaf lalu permisi keluar untuk melanjutkan telepon. Alih-alih mainan ponsel, saya memutuskan untuk mengamati orang-orang sekitar. Saya ingin mengamati ruangan ini.

Pasangan di samping kanan saya mengenakan dress shirt yang telah disetrika licin, dia menggulung bagian lengan sampai siku. Mereka mengenakan celana chino mahal dan sepatu mengkilat. Mereka bercakap-cakap sementara pramusaji membawakan santapan mereka selanjutnya: roti. 

Setiap ulasan yang saya baca menyatakan bahwa roti ini merupakan salah satu bagian terbaik dari santapan. Rotinya dibuat sendiri oleh juru masak dan disuguhkan dengan madu yang juga hasil panen sendiri. Pramusaji itu kemudian menjelaskan santapan tersebut secara rinci. Saya kagum. Pertunjukan itu membuat saya semakin kepengin roti.

Baca lanjutannya: Kisah Orang yang Masuk Restoran Elit dengan Harga Makanan Jutaan, tapi Ternyata Tidak Doyan (Bagian 2)

Related

Romance 2291203041078679746

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item