Kisah Orang yang Masuk Restoran Elit dengan Harga Makanan Jutaan, tapi Ternyata Tidak Doyan (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Orang yang Masuk Restoran Elit dengan Harga Makanan Jutaan, tapi Ternyata Tidak Doyan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Selama penjelasan pramusaji, pasangan itu tidak acuh. Penjelasannya dianggap sebagai gangguan dan mereka mengabaikannya sampai dia pergi. Setelah itu, mereka mengambil roti dan mulai membicarakan soal jet lag. Saya benci sikap mereka yang santai. Apa mereka sadar sedang di mana? Ini kan Alo!

Saya menggeser pandangan dan melihat seorang perempuan dengan balutan busana high fashion. Dia mengenakan terusan hitam. Topi mungil. Saya tersenyum ke arahnya, mencoba mengekspresikan sesuatu dengan wajah saya. Kita lagi di Alo, lho! Coba tengok piring di hadapanmu! Itu daging sapi tua! Kok kamu tak bersemangat? Lalu dia… tidak menanggapi.

Saya menyadari bahwa warna hitam jins saya berbeda dengan warna hitam jas saya. Jas yang saya kenakan kebesaran, sudah lapuk dan pudar. Saya menyadari bahwa sepatu saya—sejenis lars yang dulu saya pakai kalau ke acara punk—lecet di bagian kanan. 

Saya jadi sangat sadar bahwa saya tidak punya opini soal jet lag. Saya tidak bisa membayangkan dunia di mana jet lag adalah gangguan besar. Kedua tangan saya mulai berkeringat. Kerongkongan saya kering. Semua orang di sini sangat santai. Tidak ada yang terlampau girang atau gembira, mungkin mereka tidak girang dan gembira. Saya merasa tidak pas di sini.

Saat saya masih kecil, ayah mengalami depresi dan terbaring di ranjang selama hampir setahun. Dia merasa kewalahan, sehingga tidak bisa bangun. Dia kehilangan pekerjaannya, yang kemudian memperparah penyakitnya, dan berimbas pada keluarga kami. 

Ibu mulai mengambil kelas malam, mencoba mengasah keterampilannya sambil menafkahi empat anaknya dengan upah guru. Kami tidak pergi liburan selama beberapa tahun. Rumah kami digadaikan. Kami tidak pernah jatuh miskin, tapi kami sering makan malam hanya dengan pasta murahan.

Meski ayah akhirnya pulih, saya tidak pernah lupa betapa mudah hidup kita kehilangan. Kegelisahan finansial, dalam bentuk apapun, tak pernah benar-benar hilang. Kegelisahan macam ini membuatmu mempertanyakan apa yang kamu bisa dan tak bisa miliki dalam hidup. 

Saya memang tergolong kelas menengah, tapi saya tetap khawatir soal uang. Saya takut kecenderungan depresi saya akan membuat saya kehilangan pekerjaan. Saya khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi dan saya tak lagi bisa menafkahi orang-orang yang saya sayangi. Kalau saya kepikiran soal masa pensiun, kulit saya gatal-gatal.

Malam ini saya bisa bayar tagihan restoran, dengan upah satu bulan penuh, tapi bisa kok. Tapi, memandang sekeliling restoran, saya tersadar bahwa saya tidak mampu untuk ini semua. Bukan perkara saya punya atau tidak punya uangnya. Intinya saya tidak mampu. 

Sarah kembali ke meja kami, meminta maaf lagi, dan menggenggam tangan saya. Seorang pramusaji tiba di meja kami dengan minuman dan santapan pertama. Saya menelan ludah saat melihat koktail yang disajikan dan mencoba tenang. 

Meski saya berada di ruangan penuh orang songong, meski saya merasa seperti rambut yang tumbuh ke dalam, saya di sini bersama pacar saya. Kami mau makan. Itu, kan, hal yang paling penting?

Pramusaji itu menyajikan kotak-kotak mungil ke piring kami. Foie gras, hati angsa, dimasak dengan empat resep berbeda dan disajikan dengan sentuhan artisanal. Foie gras ini tampak lezat. Saya ambil satu kotak—ukurannya sebesar dadu—lalu menggigitnya, mencoba meresapi rasanya.

Rasanya… asing? Saya tidak pernah mengecap rasa seperti itu. Mirip mentega dan sereal. Saya tidak doyan. Saya mengambil kotak selanjutnya dan memasukannya ke dalam mulut, berharap kali ini lebih enak. Ternyata tidak. Kotak ini menempel di langit-langit mulut seperti marshmallow yang terbuat dari kecap. 

Saya cepat-cepat menelannya dan memandang ke seberang meja. Sarah terlihat gembira. Dia bertanya pendapat saya. “Mantap,” saya bilang padanya, lalu menghitung di kepala. Kalau seluruh santapan ini memakan $125 per orang (belum termasuk pajak dan tip), dua kotak yang barusan saya telan masing-masing seharga lima dolar AS.

Setelah itu, saya terus-menerus berharap dibuat terkesan. Pramusaji tiba dengan santapan berbeda. Dia menjelaskan makanan itu dengan sikap yang menghibur dan profesional. Sarah menyantap makanan itu, meresapi kerumitannya, dan menikmatinya. 

Saya ikut-ikutan saja tapi makanan ini terasa terlalu asing buat lidah saya sampai-sampai saya kehabisan kata-kata untuk menjelaskan mengapa saya tidak menikmatinya. Ini mungkin karya Jackson Pollock versi kuliner. Saya paham betul ini seharusnya menjadi hal yang mewah, tapi saya tidak cukup mewah untuk memahaminya. 

Lameque Oyster dengan Pomme Puree? Rasanya… kayak air asin. St Canut Pork Belly terlalu berlemak. Wine yang kami minum terlalu asam atau… mirip anggur? Serius, kayak jus anggur. Setengah santapan ini saya sudah malas. Saya merasa tolol dan miskin lalu permisi ke kamar kecil.

Beranjak dari kursi, saya tersadar bahwa Alo sudah lebih lengang. Pasangan jet lag sudah pergi dan perempuan dengan topi mungil tak lagi keliahatan. Namun, kalaupun hanya ada saya dan Sarah di restoran ini, rasanya tetap tidak nyaman. Restoran ini kebagusan. Ketajiran. Berlebihan. 

Tapi saya sangat kepengin merasa nyaman. Saya ingin menjadi seseorang yang bisa memahami rasa-rasa dalam wine dan menikmati foie gras. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa berbaur di kalangan fashionista dan foodies. Saya ingin bisa menikmati santapan ini meskipun saya tidak doyan. Tapi saya hanya bisa berpura-pura.

Sebagian besar kecemasan ini adalah buatan saya sendiri. Dengan latar belakang saya, saya tak berhak mendaku pejuang kelas. Saya tidak punya utang dan hal-hal yang saya rasakan boleh jadi sisa-sisa kecemasan masa remaja. Meski demikian, bukan berarti kecemasan saya tidak sah. Kalau saya memberitahu orang-orang bahwa saya cocok makan di Alo, mungkin mereka akan percaya. Tapi saya tidak.

Saya berjalan kembali ke meja saya, dua ronde penutup sedang disajikan. Apple Yeast dan Caramelized Whey, lalu Coconut White Chocolate dan Yogurt. Saya menyantap itu semua dalam dua suap saja, buru-buru menelannya sebelum saya sempat berpikir dan merasa-rasa. Rasanya okelah. 

Tagihan segera datang dan saya memandanginya lekat-lekat. Dengan tip dan segala macam pajak, totalnya adalah $400. Saya mengeluarkan kartu kredit dan mata Sarah berbinar. “Ini malam yang istimewa,” ujarnya. “Makasih ya, Sayang.”

“Ya,” balas saya. “Aku juga senang kok.”

Related

Romance 100173185541524865

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item