Perjalanan FPI, dari Kekuatan Politik sampai Dibubarkan Pemerintah (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2021/01/perjalanan-fpi-dari-kekuatan-politik_23.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Perjalanan FPI, dari Kekuatan Politik sampai Dibubarkan Pemerintah - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Politik identitas membuat Jokowi mau tak mau harus merangkul Ma’ruf. Setelah pilpres selesai, peran Ma’ruf sebagai wakil presiden banyak dipertanyakan publik karena seakan-akan tidak pernah mendapat tugas penting dalam pemerintahan Jokowi jilid II.
Ironisnya, setelah Pilpres 2019, Jokowi menunjukkan kegeramannya terhadap penggunaan politik identitas. Berkali-kali dia meminta agar politik identitas tidak lagi digunakan dalam pemilu, bahkan menjelang Pilkada 2020.
Namun FPI kembali mengguncang pemerintahan Jokowi dengan apa yang mereka sebut sebagai “revolusi akhlak” dan dipimpin langsung oleh Rizieq Shihab. Gerakan ini dianggap mampu menggalang massa untuk gelombang protes besar pada Jokowi.
Hanya berselang satu bulan lebih sedikit sejak wacana gerakan itu disuarakan Rizieq, FPI dibubarkan. Protes besar-besaran kepada Jokowi yang diperkirakan muncul dari gerakan ini lenyap begitu saja. Revolusi akhlak hanya jadi sejarah singkat berkelindan dengan FPI yang bubar.
FPI Kehilangan Daya Politik?
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mencatat dalam "Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas" bahwa penggunaan politik identitas sebenarnya tidak efektif dalam Pemilu 2019 dibanding Pilkada Jakarta 2017.
Dalam cakupan pemilu legislatif, politik identitas tidak bisa digunakan karena calon anggota parlemen tidak mau terlibat konflik horizontal dengan calon lain yang bisa menjadi korban politik identitas dan terafiliasi dengan partai yang sama. Caleg kemudian membuat isu sendiri untuk menaikkan elektabilitas di luar politik identitas.
Penggunaan politik identitas juga tidak berpengaruh banyak pada pemilih karena masyarakat terbiasa mengikuti ideologinya masing-masing. Pemilih terbelah menjadi partai berbasis agama dan partai nasionalis. Penggunaan politik identitas hanya efektif bagi pemilih partai agama yang jumlahnya cenderung rendah.
Survei CSIS pada 2017 memperlihatkan 91,4 responden mengaku akan memilih partai nasionalis. Hanya 2,3 persen di antaranya yang berpindah kepada partai berbasis agama. Selain itu, loyalitas pemilih partai berbasis agama juga meragukan.
“Pemilih partai berbasis agama lebih rentan mengalami perpindahan. Data menunjukkan sebesar 75.7% pemilih partai berbasis agama kembali tetap memilih, dan sebesar 17.1% bermigrasi ke partai berbasis nasionalis,” catat Arya dalam laporannya.
Sedangkan untuk lingkup pemilu presiden, calon pemimpin justru fokus pada isu ekonomi dan pembangunan. Tidak heran, karena calon semua beragama Islam dan tidak ada yang beretnis Tionghoa atau beragama non-Islam, politik identitas menjadi sulit digunakan.
Dalam politik nasional, pemimpin yang masih dipercaya masyarakat adalah mereka yang dapat mencitrakan dirinya jujur, anti-korupsi, mampu membawa perubahan, dan sederhana. Kualitas macam itu dianggap pilihan tepat daripada pemimpin yang hanya mengutamakan keagamaan.
Hasil pemilu presiden, Prabowo-Sandiaga tersungkur. Sedang hasil pemilu legislatif menguatkan analisis Arya.
Partai bercorak agama Islam seperti PKS dan PAN di kubu yang didukung oleh PA 212 dan GNPF-Ulama tidak mendapat banyak efek elektoral. PKS hanya mendapat 8,21 persen suara nasional, sedangkan PAN dengan perolehan 6,84 persen.
Perolehan suara ini tidak berbeda banyak dibanding lima tahun sebelum politik identitas marak. PKS mendapat 6,79 persen suara, sementara PAN sebesar 7,59 persen. Di satu sisi, suara PKS sekilas tampak naik, tapi PDIP dan Gerindra yang merupakan partai nasionalis juga naik sekitar satu persen. PKS yang diuntungkan dari suara umat Islam ini perlu bekerja lebih keras lagi.
Politik identitas telah gagal dan di saat itu pula aksi-aksi vigilantis FPI menjadi tidak jelas arahnya. Tidak ada pihak yang merasa mendapatkan cukup keuntungan elektoral lagi dari sana.
Gerindra dan PAN telah beralih dari gerakan 212. PAN mengakui hasil pemilu serentak 2019 dan Amien yang dekat dengan kelompok PA 212 dan GNPF-Ulama memutuskan undur diri dari PAN. Gerindra, di sisi lain, telah bergabung menjadi bagian dari kekuasaan. Gerindra mendapatkan dua kursi menteri di pemerintahan baru Jokowi.
Bergabungnya Prabowo di koalisi Jokowi meninggalkan PA 212 dan gengnya. Dalam beberapa kesempatan, Ketua Umum PA 212 yang juga Juru Bicara FPI, Slamet Maarif, menegaskan bahwa gerakan mereka tidak akan lagi menjagokan Prabowo dalam Pilpres 2024.
Prabowo yang tidak banyak mendapat keuntungan elektoral dari PA 212 dan kawan-kawan bisa jadi memang sudah selesai urusan dengan kelompok tersebut. Namun PA 212, FPI, GNPF-Ulama, dan semacamnya kehilangan dukungan besar dengan mengasingkan Prabowo. Secara politis, hanya PKS yang masih punya kedekatan politik dengan mereka. Nyatanya hubungan dengan PKS itu tidak bisa menghalangi pemerintah menghabisi FPI yang sudah kehilangan kekuatan secara politik.