Sejarah Mobnas di Indonesia, dari Timor sampai Esemka, Serta Penyebab Kegagalannya


Naviri Magazine - Negeri ini terlanjur memuliakan kendaraan berbahan bakar bensin, bukan kendaraan listrik.

Pada 1996 silam, Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2. Inpres yang ditandatangani Presiden Soeharto tersebut, sebagaimana ditulis Sahid Susilo Nugroho dalam "Efisiensi Merk dan Uji Konsep Mobil Nasional Timor" (Jurnal Kelola, vol. VI, no. 15/1997), dikeluarkan untuk mendukung pegembangan mobil nasional dengan cara membebaskan bea masuk komponen impor sebesar 65 persen serta pengurangan pajak penjualan atas barang mewah sebesar 35 persen terhadap perusahaan yang memproduksi mobil nasional.

Inpres tersebut menyatakan syarat-syarat mobil nasional. Mobil akan diberi titel "nasional" jika, pertama, menggunakan merek atau nama Indonesia. Kedua, mobil harus dibuat di dalam negeri dengan fasilitas milik perusahaan nasional, dengan penegasan: seluruh sahamnya dimiliki warga negara Indonesia. 

Terakhir, suatu mobil dapat memperoleh predikat mobil nasional atau "mobnas" jika pengembangan teknologi rancang bangun dan rekayasa dilakukan berdasarkan kemampuan nasional, secara bertahap.

Gairah produksi mobnas pun memuncak. Yang paling terkenal, tentu saja, dilakoni Tommy Suharto, anggota 'House of Cendana'. Berstatus sebagai anak presiden, Tommy mendirikan PT Timor Putera Nasional, perusahaan produsen mobil "Timor". 

Untuk merealisasikan mobnas, Tommy membeli lisensi mobil Sephia buatan KIA dari Korea Selatan untuk diubah menjadi Timor S-515. Di tahap awal, sejak 1996 hingga 1998, PT Timor Putera Nasional memproduksi 50.000 unit Timor S-515. Di pasaran, Timor dijual seharga Rp35,75 juta, alias setengah harga mobil setipe yang ditawarkan perusahaan-perusahaan Jepang.

Selain Timor, upaya menciptakan mobnas dilakukan banyak pihak, baik perusahaan swasta maupun institusi pemerintahan. Kusnandar, dalam "Pengembangan Mobil Nasional Sejak Reformasi: Beberapa Kasus" (LIPI, 2015) Industri Pesawat Terbang Nusantara alias IPTN (yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia) bahkan menciptakan "Maleo," mobil hasil kerjasama dengan Rover dan Milliard Design. 

PT DI juga mengembangkan "Gang Car." Lalu, ada pula mobil bermerek "Beta 97 MPV," yang dibuat oleh Grup Bakrie, hasil kerjasama dengan Shado. PT Bimantara Citra, bekerjasama dengan Hyundai, merilis mobil "Bimantara". Tak hanya itu, PT. Indomobil ikut merilis mobnas versi "MR 90", dan bekerjasama dengan Mercedes Benz, PT Texmaco menghasilkan "Texmaco Macan."

Sayangnya, berbagai mobnas yang mencuat pasca Inpres Nomor 2 diterbitkan tersebut gagal di pasaran dan pengembangannya kini tinggal kenangan. Kembali merujuk laporan Sahid, Timor S-515, misalnya, tersingkir karena "mayoritas responden (penelitiannya) belum percaya dengan kualitas Timor".

Tak patah semangat, pasca-lengsernya Soeharto Indonesia kebanjiran mobnas, seperti "Marlip" dari LIPI dan PT. Marlin Indo Mandiri, "Kancil" (PT. Kancil), "GEA" (PT INKA dan PT Rusnas), "AG-Tawon" (PT Super gasindo Jaya), "Fin Komodo" (PT Fin Komodo Teknologi), "Wakaba" (BPPT dan Universitas Pasundan), "Arina" (Universitas Negeri Semarang), "Nuri" (PT Super Gasindo Jaya), dan "Bonco" (PT Bonco Daya Utama). 

Semenjak 2009, melalui program praktikum kerja nyata bagi siswa SMK di Solo dan Klaten yang digagas Dinas Pendidikan bernama "Teaching Factory", muncullah "Esemka".

Esemka, mulanya, bukan ditujukan untuk penciptaan mobnas, melainkan sebatas melatih para siswa SMK tentang pekerjaan yang akan mereka geluti usai lulus. Selain didukung Dinas Pendidikan, "Teaching Factory" juga didukung pelaku usaha industri otomotif di Solo dan Klaten, terutama dari para pemilik bengkel. 

Esemka versi pertama gagal lulus uji emisi ketika diuji oleh Balai Thermodinamika Motor dan Propolsi (BMTP)-BPPT. Namun, karena digunakan Joko Widodo pada tahun 2011 saat ia berstatus sebagai Walikota Solo, nama Esemka akhirnya menggelembung.

Esemka akhirnya digadang-gadang menjadi mobnas, keluar dari fitrahnya sebagai medium pembelajaan siswa. Harapan Esemka menjadi mobnas kian memuncak tatkala Joko Widodo, 'influencer' Esemka, menjadi Gubernur DKI Jakarta lalu terpilih sebagai presiden. Sayangnya, lebih dari enam tahun Joko Widodo berkuasa, Esemka hanya ramai di pemberitaan dan omongan pejabat, bukan di jalanan.

Data Statista menyebut, sepanjang 2019 lalu, 10 besar pabrikan mobil paling laku di Indonesia adalah merek Jepang, dengan menyisakan satu dari Cina. Pada tahun itu, Toyota merebut 31,7 persen pangsa pasar mobil di Indonesia, diikuti oleh Daihatsu (17 persen), Honda (14,3 persen), Mitsubishi (11,4 persen), dan Suzuki (9,9 persen). Wuling dari Cina menduduki posisi ke-9 sebagai pabrikan mobil paling laku, mengantongi 2 persen pangsa pasar.

Mengapa mobnas gagal?

Elvy Maria Manurung, dalam "Industri Mobil Nasional: Perspektif Berlian Porter" (jurnal Bina Ekonomi Edisi 2012), yang menelaah fenomena mobnas melalui kerangka Porter Diamond Theory of National Advantage--sebuah kerangka teoritis untuk memahami keunggulan kompetitif yang dimiliki suatu negara--menyebut bahwa Indonesia belum memiliki "berlian" guna mendukung terciptanya mobnas. 

"Berlian" yang dimaksud, merujuk pada empat keunggulan kompetitif yang harus dimiliki dalam kerangka Porter Diamond, yakni factor conditions (tenaga terampil/terlatih/terdidik), demand conditions (karakteristik permintaan lokal), supporting industries (kehadiran atau ketidakhadiran industri pemasok atau pendukung yang secara internasional kompetitif), dan firm strategy (staregi internal perusahaan/institusi).

Berbagai macam mobnas memang menggunakan nama Indonesia, tetapi rancang bangun, bahan baku, dan terutama mesin, diimpor dari luar negeri. Indonesia tidak memiliki factor conditions. 

Lalu, kembali ke soal Timor dan kenyataan bahwa merek-merek Jepang paling laku di Indonesia, menyatakan bahwa karakteristik permintaan lokal belum berpihak pada mobnas. Terlebih, jika berkaca pada Malaysia dengan Proton-nya, pemerintah negeri Jiran melindungi mobnas mereka selama 20 tahun agar sukses. Ini tidak terjadi di Indonesia.

Yang menarik, seiring pudarnya nama Esemka dan mobnas, pemerintah Indonesia mengajak Tesla, pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat untuk mengembangkan mobil listrik di Indonesia pada akhir 2020 silam. 

Sebagaimana dilansir Antara, ajakan pemerintah pada Tesla terungkap ketika Presiden Joko Widodo yang didampingi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berbincang dengan CEO Tesla Elon Musk. 

Jodi Mahardi, Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi menyebut perbincangan tersebut "masih penjajakan awal dan belum terlalu detail." Menurut rencana, utusan Elon Musk akan datang ke Indonesia guna pembicaraan lebih jauh.

Mungkinkah masa depan dunia otomotif Indonesia ada di tangan mobil listrik (dan Tesla) dan bukan mobnas?

Dengan beralih ke kendaraan listrik, pemerintah harus memikirkan nasib para pekerja bengkel yang puluhan tahun hanya mengutak-atik mobil berbahan bakar bensin. Dengan beralih ke kendaraan listrik, Presiden Jokowi juga harus memikirkan bagaimana nasib SPBU milik Pertamina. Pemerintah pun harus memikirkan bagaimana siswa-siswa SMK dan perguruan tinggi yang belajar otomotif juga belajar pula soal kendaraan listrik.

Praktis, negeri ini terlanjur memuliakan kendaraan berbahan bakar bensin. Beruntung, masyarakat di kota Agats, Papua, telah mengajarkan bagaimana hidup dengan kendaraan listrik.

Related

Indonesia 8412718949268534380

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item