Gregor Mendel, Ilmuwan Penting yang Nyaris Dilupakan Dunia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Gregor Mendel, Ilmuwan Penting yang Nyaris Dilupakan Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Tapi, tentu saja Mendel bukan orang pertama yang melakukan eksperimen ilmiah terkait hereditas. Hanya saja sampai saat itu belum ada ilmuwan yang mampu menghasilkan konklusi yang memuaskan. Maka itu, Gregor Mendel mencoba dua pendekatan berbeda yang belum pernah dilakukan oleh saintis sebelum dia.

“Pertama, alih-alih mencoba meneliti seluruh ciri tanaman yang kompleks, Mendel justru fokus pada karakteristik yang mudah terlihat dan dibedakan, seperti biji bundar dan biji keriput, biji kuning dan biji hijau, bunga ungu dan bunga putih, dan sebagainya. 

“Kedua, ia menghitung dengan tepat jumlah tanaman yang mengandung setiap ciri. Dari data kuantitatif itu dia bisa menyimpulkan pola-pola yang berlaku dalam proses hereditas,” tulis Encyclopedia Britannica.

Eksperimen dan hasilnya

Setelah proposal eksperimennya disetujui, Mendel menghabiskan dua tahun untuk meneliti kacang polong Pisum sativum. Alasannya sederhana: tanaman itu memiliki banyak varietas dan mudah dibudidayakan. Untuk melacak ciri-ciri yang diwariskan, ia memilih tujuh sifat kontras yang dimiliki tanaman itu, seperti tinggi tanaman (pendek atau tinggi) dan warna biji (hijau atau kuning).

Tahap selanjutnya adalah menyilangkan dua varietas dengan ciri-ciri yang kontras, misalnya varietas tinggi disilangkan dengan varietas pendek. Mendel lalu melakukan pengamatan yang teliti terhadap tiga generasi tanaman ini. 

Secara total, ia meriset selama delapan musim tanam—dari 1856 hingga 1863, menghimpun data dari sekira 10.000 tanaman, dan dengan cermat menghitung sekitar 40.000 bunga, dan 300.000 kacang polong.

“Selama delapan tahun itu, Mendel menanam ribuan tanaman kacang polong dan menggunakan kuas dengan susah payah untuk memindahkan serbuk sari dari satu tanaman ke tanaman lainnya untuk membuat persilangannya, sambil tetap melakukan tugasnya sebagai biarawan dan guru,” tulis laman Nature.

Dari eksperimen berskala besar ini, Mendel dapat menyimpulkan bahwa makhluk hidup memiliki “faktor-faktor” yang dapat mewariskan ciri-ciri induk kepada anaknya. Saat itu, Mendel tak memberinya nama atau sebutan khusus, tapi kini dunia ilmiah menyebutnya sebagai “gen”.

Ketika dua induk dikawinkan, maka keturunan generasi pertamanya akan menyerupai salah satu induknya, bukan campuran keduanya. Ciri-ciri keturunan itu ditentukan oleh sepasang "faktor"—sekarang dikenal sebagai alel, atau pasangan gen. Satu di antaranya dominan, sementara lainnya resesif.

Ciri-ciri yang tampak pada keturunan generasi pertama berasal dari induk dengan faktor dominan. Meski tak tampak, faktor resesif ini bukan menghilang. Ciri-ciri faktor resesif itu akan muncul kembali pada generasi berikutnya.

“Mendel menyadari bahwa setiap sel reproduktif, atau gamet (merujuk kepada sperma atau sel telur pada manusia) hanya mengandung satu gen dari setiap pasang. Mendel juga menyebutkan bahwa kemungkinan sebuah gen dari setiap pasang muncul pada setiap gamet dan disalurkan kepada seorang turunan bersifat kebetulan belaka,” tulis Michael Hart (hlm. 303).

Pada 1865, Mendel menyusun hasil-hasil penelitiannya menjadi makalah yang dipresentasikan di depan Brunn Natural History Society. Setahun kemudian, Mendel mempublikasikan temuannya di jurnal ilmiah lembaga itu. Meski bukan jurnal prestisius, tapi ia didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan bonafid di Eropa.

Mendel juga mengirimkan makalahnya kepada Carl Negeli, yang dikenal sebagai ilmuwan hereditas terkemuka saat itu. Namun, agaknya Carl Nageli gagal memahami signifikansi temuan Mendel. Ilmuwan lain pun sebenarnya memuji dedikasinya, namun respons mereka datar saja.

Saat Mendel wafat pada 6 Januari 1884, tak ada apresiasi berarti terhadap usaha saintis amatir ini. Makalah-makalah itu lantas terlupakan sama sekali.

Karya Mendel muncul lagi ke tengah perbincangan ilmiah Eropa di pengujung abad. Pada 1900, tiga orang ilmuwan—Hugo de Vries dari Belanda, Carl Correns dari Jerman, dan Erich von Tschermak dari Austria—yang sedang mengadakan penelitian botani, secara kebetulan menemukan lagi makalah Mendel saat menelusuri literatur. 

Anehnya, ketiganya tidak saling terkait, dan bekerja secara independen. Tapi, ketiga ilmuwan itu punya kesimpulan yang sama: penelitian mereka memperkuat kesimpulan Mendel yang sebelumnya diabaikan.

“Sebuah kebetulan yang luar biasa! Lebih lanjut di tahun yang sama, William Bateson, seorang ilmuwan Inggris, membaca artikel asli Mendel, dan segera memperlihatkannya kepada ilmuwan-ilmuwan lain. Menjelang akhir tahun, Mendel menerima pengakuan yang melimpah ruah, yang seharusnya dia terima saat masih hidup,” tulis Michael Hart.

Related

Science 4601654204104245003

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item