Jika Manusia Punya Sayap, Bisakah Terbang Seperti Burung? Ini Jawabannya


Naviri Magazine - Novelis terkenal, James Patterson, menulis sebuah novel berjudul When the Wind Blows. Novel itu menceritakan anak-anak yang memiliki sayap—hasil rekayasa genetika di laboratorium—dan anak-anak ajaib itu dapat terbang seperti burung. 

Dalam kata pengantarnya, James Patterson menulis bahwa penulisan naskah novel itu dibantu tiga puluh lebih dokter dan ilmuwan riset. Hasilnya memang memukau, novel itu mampu membuat pembaca mengangguk-anggukkan kepala, karena seolah-olah nyata.

Tetapi, bagaimana pun juga, itu kisah fiksi yang hanya ada dalam novel. Di dunia nyata, mungkinkah manusia dapat terbang seperti burung jika memiliki sayap? 

Abbas Ibn-Firnas adalah ilmuwan Cordoba abad ke-9 yang sangat ingin membuktikan sayap dapat membantu manusia untuk terbang. Ia pun membuat sayap buatan, memasangnya di kedua lengannya, lalu meloncat dari tempat yang tinggi. Hasilnya cukup berhasil (atau beruntung), karena dia bisa terbang di udara selama sepuluh menit... tapi kemudian jatuh ke tanah dengan leher patah.

Burung—sebagai contoh sempurna hewan terbang—dapat bertahan di udara karena bentuk sayapnya. Permukaan bagian atas sayap burung terbentang dalam suatu garis, sehingga udara yang melintas melewati sayap tersebut harus bergerak lebih cepat dibanding udara yang bergerak di bawah sayap. 

Udara yang bergerak lebih cepat memiliki tekanan lebih rendah dibanding udara yang bergerak lebih lambat, sehingga tekanan yang lebih tinggi di bawah sayap mendorong burung ke atas ketika burung tersebut bergerak melalui udara.

Tetapi yang memungkinkan burung dapat terbang tidak hanya itu. Sayap burung juga relatif lebih besar dibanding tubuhnya. Sayap burung memiliki dua fungsi—untuk terbang ke atas, dan untuk terbang maju. Agar sayap burung dapat bergerak sebagaimana mestinya, burung juga memiliki otot dada yang kuat. 

Selain itu, bagian dalam tulang burung kosong, bagian dalam perutnya kecil, dan mereka tidak punya kantong kemih. Semua itu berguna untuk menjadikan bobotnya ringan, sehingga burung bisa terbang ke langit.

Kenyataan itu tidak ada pada manusia. Karena hidup di tanah, manusia memiliki struktur tubuh yang sangat berbeda. Dibandingkan burung, manusia memiliki tubuh yang berat, sementara otot dadanya sangat lemah. 

Sebagai ilustrasi, burung albatros memiliki sayap sepanjang dua sampai tiga meter, namun berat badannya hanya sekitar 10 kilogram. Meski begitu, albatros tidak bisa langsung terbang seperti burung kakatua. Untuk dapat terbang, ia harus melebarkan sayapnya, dan terbang dengan bantuan angin—persis seperti pesawat terbang. 

Burung juga membutuhkan tenaga yang besar untuk bisa terbang. Jika albatros yang hanya berbobot 10 kilogram dan ditunjang sayap sepanjang dua sampai tiga meter saja tidak bisa leluasa terbang dan harus mengandalkan angin, bagaimana dengan manusia yang bobotnya kira-kira 60 kilogram? 

Untuk dapat terbang seperti burung, manusia tentu membutuhkan sayap yang amat besar. Untuk menggerakkan sayap yang amat besar itu tentu juga dibutuhkan otot dan tenaga yang sangat kuat. Faktanya, manusia tidak memiliki tenaga sekuat itu.

Meskipun misalnya tangan manusia digantikan sayap, namun dengan bentuk tubuh seperti sekarang, manusia tetap tidak mampu terbang seperti burung karena otot dada yang lemah, dan kurangnya kekuatan untuk dapat menggerakkan sayap. Artinya, meski memiliki sayap sekalipun, manusia tetap kesulitan untuk dapat terbang seperti burung. 

Superman memang bisa terbang dengan sayapnya yang relatif kecil. Tetapi, sayangnya, kita bukan Superman.

Fakta:

Tokoh Superman diciptakan oleh Joe Shuster, asal Kanada, dan Jerry Siegel asal Amerika. Pada waktu pertama kali menciptakan karakter Superman, kedua orang itu tidak menjadikan Superman sosok pahlawan, tetapi seorang psikopat botak-jenius yang memiliki kekuatan luar biasa, dan berambisi menguasai dunia. Karakter itu muncul pada cerita pendek berjudul The Reign of the Super-Man di Science Fiction edisi No. 3, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Siegel pada tahun 1933. 

Namun, karakter Superman awal yang berwujud psikopat botak-jenius itu tidak laku, alias tidak disukai pembacanya. Maka Jerry Siegel kemudian menulis ulang karakternya, dan menjadikan Superman sebagai pahlawan. Sementara sang psikopat botak-jenius sebelumnya diubah menjadi karakter Lex Luthor, yang menjadi musuh Superman.

Related

Science 6804751449824173106

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item