Kecemasan dan Kegalauan yang Biasa Muncul di Usia 30-an


Naviri Magazine - Budiman, seorang entrepreneur, berusia 32 tahun. Meski belakangan bisnisnya di bidang sablon dan cutting sticker terbilang lumayan, nyaris saban hari bungsu dari tiga bersaudara ini justru rutin dilanda perasaan khawatir. 

“Kalau bukan karena sering dibanding-bandingkan dengan orang lain, terutama teman sebaya, alasannya ya apa lagi,” kata Budi, saat membuka obrolan, diiringi senyum kecut dan sorot mata menerawang. 

Sejak menyandang gelar Sarjana Ekonomi sembilan tahun lalu, kemudian menjadi karyawan sebuah bank pemerintah daerah enam tahun berikutnya, Budi memang terbilang lebih santai ketimbang teman-temannya. Melewati usia 20-an, hari-harinya di luar jam kerja lebih banyak dihabiskan untuk menggambar dan mengotak-atik motor—“menyalurkan minat dan bakat,” katanya—di samping jalan-jalan ke luar kota bersama komunitas otomotif yang ia ikuti. 

Sementara teman-temannya kini sudah berkeluarga dan sebagian bahkan sudah mampu membeli rumah pertama, Budi, pria asal Kota Kembang, masih tinggal bersama orang tua. Kenyataan itu, paling tidak sejak dua tahun terakhir, menjelma menjadi motivasi terbesarnya. 

“Kupikir punya banyak teman dan penghasilan cukup pada akhir usia 20-an bakal bikin hidup baik-baik saja. Faktanya, tuntutan makin besar dan keinginan makin banyak,” beber Budi, kali ini diiringi tawa. 

Usia 30-an boleh dibilang merupakan usia terbaik dalam hidup seseorang. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 1977, misalnya, menemukan fakta bahwa para peraih penghargaan nobel di bidang fisika umumnya melakukan penelitian pada usia 36 tahun dan memenangi nobel pada usia 39 tahun. 

Ya, selain kreativitas, memasuki usia 30-an, kepribadian seseorang—yang dibentuk sejak kanak-kanak hingga akhir usia 20-an—cenderung lebih matang. Masalahnya, seiring pohon meninggi, terpaan angin juga kian kencang. 

Dan bagi orang-orang seperti Budi, yang mendapati realitas malah melenceng dari ekspektasi, hidup di umur 30-an tak ubahnya hidup di sebuah fase yang rawan: fase di mana kecemasan kerap muncul dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial lebih sering dilontarkan. 

“Kondisi demikian akan menimbulkan keinginan untuk berubah, menemukan rencana untuk keluar dari situasi saat ini, dan membangun kembali kehidupan,” kata Oliver Robinson, Psikolog asal Inggris, kepada New Scientist. 

Kabar baiknya, alih-alih mengutuk keadaan atau larut dalam penyesalan, kebanyakan orang orang dewasa bakal melihat krisis pada fase tersebut secara positif. 

“Meski belum terlalu signifikan, sejak akhir 2019 lalu aku rutin menabung. Dan meski hasilnya belum kelihatan—orang tuaku masih sering menuntut agar aku lekas-lekas menunjukkan buah pekerjaan selama ini—punya tabungan cukup membuat aku kembali mempunyai kepercayaan diri,” sambung Budi. 

Ya, di samping membangun rumah tangga, seperti halnya teman-teman seusianya, Budi juga mulai berpikir untuk mempanjar rumah atau membeli kendaraan roda empat. Meski terbilang agak telat, ia yakin mewujudkan impian itu bukanlah perkara yang mustahil. 

Related

Psychology 1645397629133709722

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item